Minggu, 14 November 2010 0 komentar

KEKUATAN FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN MKRI

KEKUATAN FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN MKRI

Oleh: Winasis Yulianto*

 

 

PENDAHULUAN

            Perjalanan panjang pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada) Kabupaten Situbondo Tahun 2010, tampaknya masih panjang dan berliku. Belum ada tanda-tanda berakhir, dengan dilantiknya Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Situbondo sebagai hasil pemilukada tahun 2010 tersebut, sementara masa jabatan Bupati periode sebelumnya berakhir pada hari Rabu tanggal 11 Agustus 2010. Akibat belum dilantiknya Bupati baru, otomatis Kabupaten Situbondo akan mengalami kekosongan pemerintahan. Untuk menghindari kekosongan pemerintahan tersebut, Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur telah menunjuk seorang pelaksana tugas (Plt) Bupati Situbondo. (Radar Situbondo, 12/08/2010)

            Pertanyaan hukum yang dapat kita ajukan adalah, apakah putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 70/PHPU.D-VIII/2010 tidak cukup ampuh dalam menyelesaikan pilkada Kabupaten Situbondo Tahun 2010. Benarkah putusan MKRI bersifat final dan mengikat sebagaimana diamanahkah oleh Pasal 13 ayat (4) Peraturan MKRI Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMKRI)

            Penulis juga akan merunut ketentuan perundang-undangan dalam pemilukada, mulai dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hingga Peraturan KPU. Dari berbagai ketentuan di atas, akhirnya kita akan mengetahui apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilukada hingga DPRD di Kabupaten Situbondo.

            Penulisan ini tidak hendak ikut campur tangan, tetapi mengingatkan kembali yang menjadi kewajiban konstitusional kita bersama. Mudahan-mudahan tulisan ini menggugah hati dan pikiran kita, kepentingan masyarakat banyak (baca: Situbondo) harus lebih kita kedepankan dari hal-hal lain.

 

PUTUSAN MKRI

            Tanggal 28 Juni 2010, KPUD Situbondo melaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara hasil pemilukada tahun 2010. Dari hasil rekapitulasi, diketahui bahwa pasangan nomor urut 4, H. Dadang Wigiarto, SH dan Rachmad, SH., M.Hum, mengungguli pasangan calon lain. Tidak puas dengan hasil rekapitulasi tersebut, pasangan calon nomor urut 5, Drs. Sofwan Hadi, M.Si dan Sukarso, SE, dan pasangan calon nomor urut 1, Drs. H. Hadariyanto, MM dan H. Basoenondo, MM, mengajukan gugatan ke MKRI.

Berbagai pernak pernik persidangan terjadi hingga MKRI menetapkan putusan “Permohonan Pemohon tidak dapat diterima” karena objek permohonan Pemohon salah. Putusan MKRI tersebut dibacakan pada hari Selasa tanggal 3 Agustus 2010. Delapan dari sembilan orang hakim MKRI hadir dalam pembacaan putusan di atas, dan tak satupun hakim mengajukan dissenting opinion. Ini menunjukkan bahwa para hakim MKRI sepakat bahwa permohonan tidak dapat diterima.

Tidak hadirnya seorang hakim MKRI pada saat sidang pembacaan putusan tidak mempengaruhi keabsahan putusan. Pasal 13 ayat (2) PMKRI menyatakan bahwa “Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi.” Dengan demikian, ketentuan Pasal 13 ayat (4) PMKRI yang menyatakan bahwa “putusan MKRI bersifat final dan mengikat” berlaku dalam sengketa hasil pemilukada Kabupaten Situbondo Tahun 2010.

Ketika seorang anggota tim kampanye pasangan calon nomor urut 5 berkomentar masih ada celah hukum terhadap putusan MKRI, penulis tidak sepakat dengan pernyataan tersebut. Sebagai orang yang banyak belajar tentang hukum tata negara, penulis tidak menemukan celah hukum yang dapat dilakukan, mengingat putusan MKRI bersifat final dan mengikat. Kalimat “final dan mengikat” mengandung makna tidak ada upaya hukum lain selain harus mematuhi putusan yang telah diambil oleh MKRI.

Kepatuhan kita terhadap putusan MKRI sedang diuji disini. Apakah kita sebagai warga yang patuh akan hukum, ataukah kita masih akan menafsirkan sebuah putusan yang jelas, tegas dan tidak lagi memerlukan tafsir hukum. Jawaban atas pertanyaan itu tidak perlu dengan melakukan press release, tetapi cukuplah disikapi dengan perbuatan nyata.

 

LANGKAH BERIKUTNYA

            Berdasarkan hasil putusan MKRI di atas, KPUD memiliki kewajiban untuk melaporkan kepada DPRD paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima salinan putusan. (Vide Peraturan KPU Nomor 73 Tahun 2009). Sudahkah kewajiban konstitusional KPUD ini dilaksanakan? Penulis merasa yakin bahwa KPUD tidak berani tidak melaksanakan kewajiban konstitusional ini. Logika pikir penulis, yang mengacu pada Pasal 22 ayat (5) UUD 1945, KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum bersifat “nasional, tetap dan mandiri”.

            Bilamana logika penulis benar, berarti DPRD lah yang saat ini memiliki kewajiban konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur selambat-lambatnya 3 (tiga) hari. Ambang batas waktu 3 (tiga) hari ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta dalam Peraturan KPU Nomor 73 Tahun 2009.

            Penulis sangat memahami bahwa untuk pengusulan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih terikat pada mekanisme internal DPRD, yaitu tata tertib. Salah satu mekanisme internal yang harus dilalui adalah rapat paripurna DPRD yang khusus membahas pengusulan di atas. Untuk sahnya rapat paripurna, harus memenuhi sejumlah quorum tertentu. Sejauh pengetahuan penulis, DPRD baru satu kali melaksanakan rapat paripurna untuk membahas pengusulan, namun tidak tercapai quorum. Menjadi kewajiban konstitusional DPRD lah mengagendakan kembali rapat paripurna secepatnya.

            Sebagai lembaga yang sangat memahami konstitusi, DPRD akan sangat bersifat arif dan bijak dalam mematuhi perundang-undangan. DPRD tentu akan lebih mengedepankan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya daripada mengedepankan kepentingan-kepentingan politik sesaat.

            Bilamana kewajiban konstitusional mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur sudah dilakukan, maka lunaslah kewajiban DPRD. Proses berikutnya yang ada di tangan Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, bukan lagi menjadi otoritas DPRD.

 

PENUTUP

            Tinta emas, perak ataukah perunggu yang akan kita torehkan, tergantung apa yang akan kita perbuat. Kita akan dicatat sebagai orang yang patuh terhadap konstitusi atau tidak, itu tergantung pada sikap kita melaksanakan putusan MKRI dan perundang-undangan atau tidak. Jadi, kenapa kita tidak bergegas mulai sekarang.

 

           

           



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Tetap dan Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.

1 komentar

KEBUTUHAN TENAGA AHLI DPRD

KEBUTUHAN TENAGA AHLI DPRD

Oleh: Winasis Yulianto*

 

            Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendahului apa yang diamanatkan oleh UU No. 27 Tahun 2009 kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan pelaksanaan (baca: peraturan pemerintah) paling lambat satu tahun sejak diundangkan. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk menggurui kawan-kawan yang duduk di kursi DPRD. Tulisan ini merupakan ajakan penulis untuk bersama-sama melakukan kontemplasi, agar pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang menjadi lebih optimal.

            Penulis menyadari betul bahwa kawan-kawan yang duduk di kursi DPRD memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tidak diragukan lagi. Apalagi setiap partai politik juga telah memberikan pembekalan kepada setiap anggotanya yang duduk di kursi DPRD sebelum pelantikan dilaksanakan. Dengan dua alat ukur tersebut, setiap anggota DPRD telah siap dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya.

 

Peristilahan

            Secara normatif, belum ada kesamaan penyebutan terhadap tenaga ahli. Dalam UU No. 27 Tahun 2009 memberikan istilah yang tidak sama, Pasal 301 ayat (10) dan Pasal 352 ayat (10) menyebutnya dengan tenaga ahli, sedangkan Pasal 397 dan Pasal 399 menyebutnya dengan kelompok pakar atau tim ahli (KPTA). Istilah tenaga ahli juga dipergunakan dalam PP No. 41 Tahun 2007 maupun Permendagri No. 57 Tahun 2007. Perbedaan penyebutan tersebut tentu membawa konskuensi, istilah tenaga ahli dapat dimaknakan tunggal ataupun jamak, sedangkan istilah KPTA dapat dipastikan jamak.

            Dengan mengamati secara cermat, roh yang diinginkan oleh UU No. 27 Tahun 2009 KPTA akan membantu tugas anggota DPRD sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD. Ini berarti bahwa kinerja KPTA membantu fraksi maupun komisi. Dengan demikian jumlah KPTA tergantung pada jumlah fraksi dan komisi di masing-masing daerah.

            Keberadaan KPTA sangat ditentukan 2 hal: kebutuhan atas usul anggota DPRD dan kemampuan daerah. Penulis berpandangan bahwa kedua syarat tersebut bersifat komulatif, artinya kedua syarat tersebut harus terpenuhi. Bilamana anggota DPRD mengusulkan kepada sekretaris dewan bahwa diperlukan KPTA, sedangkan kemampuan daerah tidak ada, maka KPTA menjadi tidak ada. Sebaliknya, kemampuan daerah ada sedangkan anggota DPRD beranggapan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya tidak memerlukan KPTA, maka KPTA menjadi tidak ada.

            Yang cukup menggelisahkan, regulasi tentang KPTA ada pada grey area. Tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan tentang persyaratan untuk menjadi KPTA DPRD. Seluruh pengaturan pengangkatan dan pemberhentian ada di tangan sekretaris dewan. Dengan demikian, sekretaris dewan memiliki otoritas penuh (full powers) untuk mengangkat dan memberhentikan KPTA DPRD.

            Hal ini berbeda dengan staf ahli bupati maupun gubernur yang memiliki kriterium yang jelas untuk dapat diangkat sebagai staf ahli. Kriterium yang dimaksud adalah bahwa calon staf ahli yang diangkat harus berasal dari PNS dan akan didudukkan sebagai eselon II. Dalam regulasi kepegawaian, seseorang yang akan menduduki eselon II juga memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya harus golongan IV. Hak dan kewajiban untuk eselon II juga jelas, dapat kendaraan dinas dan tunjangan jabatan yang semuanya diatur dengan jelas dalam regulasi kepegawaian.

            Karena tidak diatur dengan regulasi yang jelas, maka hak dan kewajiban KPTA DPRD akan sangat tergantung pada good will sekretaris dewan. Sekretaris dewan dapat menentukan besar kecilnya honorarium dengan menganggarkannya dalam APBD. Akhirnya, optimal atau tidaknya kinerja KPTA DPRD tergantung pada honorarium yang diterimanya.

 

Keahlian yang dibutuhkan

            KPTA DPRD diamanatkan untuk mendukung pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD. Idealnya, setiap anggota DPRD memiliki satu orang KPTA, tetapi hal ini akan membawa konskuensi besarnya anggaran yang harus dibebankan di APBD. Penulis berpandangan bahwa KPTA cukup disesuaikan dengan jumlah fraksi dan komisi yang ada di DPRD. Dengan demikian jumlah KPTA di masing-masing daerah dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

            KPTA yang ditugaskan membantu fraksi, haruslah memiliki pengetahuan yang cukup tentang visi, misi dan program fraksi yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa pengetahuan tersebut, KPTA akan mengalami kesulitan dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh fraksi. Orang yang dapat mengemban posisi KPTA fraksi dapat saja berasal dari akademisi, profesional ataupun pihak lain yang menurut fraksi dapat memberikan pertimbangan kebijakan fraksi.

            Berbeda dengan KPTA yang ditempatkan di fraksi, KPTA yang ditempatkan di komisi harus orang yang benar-benar memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang komisi. Komisi A atau Komisi I DPRD, bergerak dalam bidang hukum dan pemerintahan. Idealnya, komisi ini memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu hukum dan ilmu pemerintahan. Kedua KPTA ini akan dapat mengcover pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Komisi A atau Komisi I DPRD.

            Komisi B atau Komisi II DPRD bergerak dalam bidang keuangan dan anggaran. Seperti halnya Komisi A, Komisi B idealnya juga memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu akuntansi dan ilmu manajemen (keuangan). KPTA Komisi B akan mengcover tugas Komisi B dalam menganalisis RAPBD, Nota Perhitungan APBD, PAPBD dan LKPJ Kepala Daerah, yang selanjutnya memberikan rekomendasi kepada Komisi B sebagai masukan dalam pembahasan materi-materi tersebut.

            Komisi C atau Komisi III lebih banyak bergerak di bidang pembangunan fisik, jalan, jembatan, bangunan dan seterusnya. KPTA yang diharapkan dapat mendorong fungsi, tugas dan wewenang Komisi C adalah mereka yang berlatar pendidikan teknik sipil atau profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik. Lebih ideal lagi, keduanya disatukan sebagai KPTA. KPTA yang berpendidikan teknik sipil sangat paham betul tentang pembangunan fisik berdasarkan teksbook yang ada. Sedangkan profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik paham betul tentang rimba proyek fisik.

            Komisi D atau Komisi IV bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang ini sangat jauh perbedaannya, karena itu KPTA harus berasal dari kedua bidang tersebut. KPTA yang membantu bidang pendidikan harus paham betul tentang dunia pendidikan. Sekretaris dewan maupun Komisi D dapat saja mensyaratkan untuk menjadi KPTA bidang pendidikan harus pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota atau Provinsi. Mereka yang pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan sudah teruji pemahamannya dalam dunia pendidikan.

            Sedangkan untuk KPTA bidang kesehatan, haruslah memiliki latar belakang pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan berlatar belakang pendidikan kesehatan masyarakat, diharapkan akan dapat memberikan masukan kepada Komisi D tentang kebijakan daerah di bidang kesehatan.

 

Penutup

            Eksistensi KPTA dalam mendukung pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD adalah sangat vital. Oleh karena itu, tidak ada lagi argumentasi tidak ada anggaran untuk meniadakan KPTA. Kawan-kawan ekskutif (baca: pemerintah daerah) sangat expert di bidangnya, dan itu harus diimbangi oleh kawan-kawan DPRD. Bila tidak, lagunya Iwan Fals dengan kalimat “nyanyian lagu setuju” akan sering terdengar lagi.

            Kepada kawan-kawan fraksi dan komisi DPRD, selamat memilih KPTA.

 

 

 

 



* Dosen Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo, tinggal di Perumahan Villa Situbondo Indah Blok C-15 Situbondo

 

 

0 komentar

SIDE EFFECTS PENUNDAAN PELANTIKAN BUPATI SITUBONDO

SIDE EFFECTS PENUNDAAN PELANTIKAN BUPATI SITUBONDO

Oleh: Winasis Yulianto*

 

            Seorang kawan dosen bertanya dengan sangat lugu, tapi penulis kesulitan memberikan jawaban. “Apakah ada gunanya kamu nulis di koran, mempertontonkan keilmuanmu. Dapatkah tulisanmu merubah keadaan yang sedang berlangsung?”

            Pertanyaan yang disampaikan setelah acara pelantikan mutasi pejabat struktural di kampus Sabtu lalu (21/8/2010), terus saja bergayut dalam pikiran penulis. “Apa iya, penulis sudah mempertontonkan keilmuan penulis, yang notabene merupakan kesombongan akademis. Apa iya, tulisan penulis akan mampu merubah keadaan”.

            Kontemplasi yang dilakukan penulis membawa pada sebuah konklusi, ini dunia politik. Sebuah dunia grey area, yang satu ditambah satu tidak selalu dua, tetapi terserah partai. Ini bukan dunia teksbook, tetapi dunia tekstual. Ini bukan dunia kampus, tetapi dunia nyata. Literatur dan buku-buk teori belum tentu laku, yang baru berlaku untuk membuat sebuah legitimasi.

            Berangkat dari sebuah keprihatinan, penulis tetap akan mencoba terus menulis. Tanpa lagi berhitung, apakah tulisan yang penulis buat membawa pengaruh apa tidak.

 

PENUNDAAN PELANTIKAN BUPATI

            Secara normatif, kapanpun dilantik, masa jabatan bupati tetap lima tahun. Penghitungan masa jabatan bupati didasarkan pada tanggal penetapan keputusan Menteri Dalam Negeri yang khusus untuk itu. Logika yang tidak tepat kalau menyuarakan masa jabatan bupati akan terkurangi bila mengulur-ulur waktu proses pelantikan.

            Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikatpun dicoba diterobos dengan mengajukan keberatan karena adanya Keputusan KPUD Situbondo  tentang Penetapan Rekapitulasi hasil penghitungan sekaligus penetapan pasangan terpilih. Namun keputusan KPUD tersebut dibantah oleh komisioner KPUD Situbondo yang lain, karena tidak pernah sekalipun ada rapat pleno yang membahas keputusan tersebut. Konon, keputusan tersebut hanya ditandatangani oleh salah seorang anggota KPUD sendirian, tanpa persetujuan anggota KPUD yang lain. Masih konon, 4 (empat) orang anggota KPUD Situbondo yang lain telah mengirimkan surat bantahan ke MK. Penulis sampai saat ini belum mengetahui sikap MK terhadap bantahan tersebut.

            Atas dasar pengajuan keberatan ke MK, salah seorang pimpinan DPRD tidak bersedia menandatangani berkas pengusulan pelantikan ke Mendagri melalui Gubernur Jawa Timur. Faktor inilah tampaknya yang berakibat penundaan pelantikan bupati.

 

SIDE EFFECTS

            Benar bahwa Gubernur Jawa Timur telah melantikan pelaksana tugas jabatan (ptj) bupati Situbondo. Namun kita makfum, bahwa ptj bupati memiliki keterbatasan dalam menakhodai pemerintah Kabupaten Situbondo. Pertama, bupati tidak diperkenankan untuk melakukan mutasi. Hal ini merupakan amanat Gubernur pada saat melantikan ptj bupati Situbondo. Kedua, ptj bupati tidak dapat mengambil keputusan masalah-masalah yang strategis, diantaranya yang berhubungan dengan APBD.    

            Akibatnya, pembahasan terhadap Perubahan APBD Tahun 2010 tidak dapat dilaksanakan. Akankah Kabupaten Situbondo tidak melakukan PAPBD tahun 2010 ini. Ataukah kita sudah cukup puas dengan APBD kita di tahun 2010.

            Akibat kdua, penyusunan APBD 2011 akan mengalami keterlambatan. Sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011, penyusunan APBD seharusnya dimulai bulan Juni dan harus selesai pada tgl 31 Desember 2010. Bilamana mengalami keterlambatan, haruskah kita menerima pengurangan DAU dan DAK dari pemerintah pusat.

            Akibat-akibat sebagaimana penulis sebutkan di atas, pernahkah terpikirkan oleh pihak-pihak yang menghambat proses pelantikan bupati Situbondo. Namun itu semua, penulis kembalikan ke dalam hati nurani mereka, yang saat ini memiliki kekuasaan untuk melancarkan atau menghambat proses pelantikan bupati.

 

PEKERJAAN RUMAH

            Perda Kabupaten Situbondo Nomor 01 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Situbondo Tahun 2006-2010 yang ditandatangani Bupati Ismunarso pada tanggal 26 Januari 2006 akan habis masa berlakunya. Kita perlu segera menyiapkan draf RPJMD untuk masa lima tahun ke depan. Ini bukan pekerjaan mudah, karena harus melibatkan seluruh stakeholders di Kabupaten Situbondo, dan tidak dapat kita selesaikan dalam hitungan hari.

            Itupun masih dilakukan pembahasan dengan DPRD, karena harus berbentuk Perda. Untuk menghasilkan RPJMD yang applicable, pembahasan dengan DPRD akan memakan waktu yang cukup lama.

            Berikutnya adalah tahapan APBD 2011. Pemerintah Kabupaten Situbondo (Pemkab) perlu segera menyiapkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rancangan Kebijakan Umum APBD. Setelah itu, Pemkab perlu segera mempersiapkan Rancangan KUA dan Rancangan PPAS untuk disampaikan kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. (Vide Pasal Pasal 87 ayat 1 Permendagri No. 59 Tahun 2010)

KUA dan PPAS yang telah disepakati antara Pemkab dengan DPRD masing-masing harus dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara bupati dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.

Bupati menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Persetujuan bersama antara bupati dan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD ditandatangani oleh bupati dan pimpinan DPRD paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran berakhir.

 

PENUTUP

            Sejauh pemahaman penulis, pekerjaan rumah yang penulis sampaikan di atas tidak dapat dilakukan oleh seorang ptj bupati. Semuanya harus dilakukan oleh bupati definitif. Dengan alur pikir yang demikian, penulis berkesimpulan bahwa menghambat pelantikan bupati berarti menghambat proses pembangunan di Kabupaten Situbondo yang kita cintai bersama.

 

 



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Tetap dan Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh tinggal di Perumahan Villa Situbondo Indah Blok C-15 Situbondo

0 komentar

SADAR BERKONSTITUSI

SADAR BERKONSTITUSI

Oleh: Winasis Yulianto

 

            Sadar berkonstitusi harus dimaknakan tidak hanya hapal perundang-undangan, mulai dari undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) hingga peraturan daerah (perda). Sadar berkonstitusi harus dimaknakan tahu, mau dan mampu melaksanakan konstitusi, karena orang yang tahu belum tentu mau dan mampu melaksanakan konstitusi.

            Sadar berkonstitusi diharapkan membumi di masyarakat kita, mengingat Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Setiap tindakan pribadi maupun pemerintah, harus memiliki landasan hukum sebagai pedoman.

 

Prihatin

            Kamis 11 November 2010 pukul 10, penulis harus menghadiri sebuah rapat organisasi sosial kemasyarakatan. Perjalanan penulis agak terganggu karena ada penyampaian aspirasi (baca: demonstrasi) perangkat desa di Kantor Bupati Situbondo. Materi aspirasi yang disampaikan, yang baru penulis ketahui pada saat sampai di ruang rapat yang penulis hadiri. Seorang kawan, yang kebetulan seorang advokat, bercerita bahwa materi aspirasi yang disampaikan adalah masa jabatan kepala desa yang selama ini 6 tahun, minta dikembalikan menjadi 8 tahun.

            Mendengar penjelasan kawan tadi, penulis jadi trenyuh, prihatin, mengapa aspirasi ini harus disampaikan ke Bupati Situbondo. Apakah karena yang yang mengesahkan dan yang mengangkat kepala desa terpilih adalah Bupati, lantas aspirasi harus disampaikan ke Bupati. Pertanyaan seperti itu penulis ajukan, lantas penulis coba mencari jawaban atas pertanyaan yang penulis ajukan sendiri.

 

Masa Jabatan Kepala Desa

            Sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah, pemerintahan desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang telah beberapa kali dilakukan perubahan. Pasal 204 UU Pemda menetapkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.

            Pasal 204 UU Pemda ini melahirkan sebuah peraturan organik, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (PP Desa). Pasal 52 PP Desa mengatur hal yang sama dengan Pasal 204 UU Pemda. Kalimatnya persis tanpa ada perubahan sama sekali.

Selanjutnya dari PP Desa, Pemerintah Kabupaten dan DPRD Situbondo mengundangkan perda tentang desa. Perda inpun mengatur persoalan yang sama tentang masa jabatan kepala desa. Hal ini logis, mengingat peraturan yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dalam khasanah ilmu hukum, itu yang dimaksud dengan Lex Superiori Derogat Lex Inferiori.

 

Langkah Solutif

            Otoritas penentuan masa jabatan kepala desa bukan terletak pada Bupati dan DPRD Situbondo yang telah mengundangkan perda tentang desa. Apa yang dilakukan oleh Bupati dan DPRD Situbondo sebatas melaksanakan peraturan perundang-undangan di atasnya.

            Karena itu, sekiranya ada aspirasi untuk ingin memperpanjang masa jabatan kepala desa, adalah dengan mengubah pasal yang berkaitan dengan masa jabatan kepala desa dalam UU Pemda. Aspirasi yang terakumulasi kemudian disampaikan ke anggota legislatif (baca: DPR RI). Biarlah pemerintah pusat dan DPR RI yang akan membahas usulan perubahan masa jabatan kepala desa.

            Penulis tidak tahu apakah moment penyampaian aspirasi perangkat desa tersebut dibarengkan dengan pelaksanaan kegiatan anggota MPR RI di Kabupaten Situbondo. Logika yang penulis tangkap, dengan dibarengkannya penyampaian aspirasi dengan agenda kegiatan anggota MPR RI tersebut, merupakan langkah efisien dan efektif, sehingga tidak perlu menyampaikan aspirasi ke pusat secara langsung. Kalau logika ini benar, berarti satu dayung dua tiga pulau terlampaui.

 

Penutup

            Akhirnya, konstitusi yang ada harus kita patuhi terlebih dahulu. Urusan nanti ada perpanjangan masa jabatan kepala desa karena ada perubahan regulasi, itu urusan lain. Yang terpenting, kita harus sadar berkonstitusi agar negara hukum yang dicita-citakan pendiri bangsa ini segera dapat tercapai.

 
;