Selasa, 03 Mei 2011 1 komentar

PEMERINTAHAN DAERAH = Bupati + DPRD

Oleh: Winasis Yulianto*

Rabu, tanggal 27 April 2011 saya ditugasi pimpinan untuk menghadiri sebuah rapat akademik ke luar kota. Sehabis sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan. Handphone saya berbunyi. Di seberang terdengar suara pimpinan saya, “Have you read Radar Banyuwangi today”. Aku jawab, “Not yet, Sir. I’m on the the way to ……. ”.
Pimpinan saya kemudian bercerita kalau kawan-kawan di DPRD menduga naskah akademik Raperda Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah copy-paste dari daerah lain. Saya kontak sana sini, yang kemudian memperoleh email naskah akademik yang diduga copy-paste itu.
Dari email itu, saya pahami kawan-kawan DPRD membaca betul-betul naskah akademik. Ada kalimat “DKI Jakarta” dalam naskah akademik itu, sehingga menduga naskah akademik itu copy-paste dari daerah lain. Padahal kalimat “DKI Jakarta” itu berasal dari bunyi peraturan perundang-undangan.
Saya tiba-tiba sedih dan takut. Kesedihan yang saya pikirkan, pasti akan menimbulkan reaksi dari pemerintah kabupaten. Sedangkan ketakutan saya bersumber akan menimbulkan suasana komunikasi yang kembali menghangat antara pemerintah kabupaten dengan DPRD. Padahal suasana baru saja cair setelah pembahasan APBD 2011 yang begitu alot dan panjang.
Apa yang saya sedihkan dan takutkan terbaca di Radar Banyuwangi, Senin 2 Mei 2011. Satu berita berjudul “Pernyataan Ketua DPRD Tidak Berdasar”, ini merupakan cerminan kesedihan saya, walaupun saya sangat memahami pernyataan Wakil Bupati. Dan itu sebuah pernyataan yang logis dan harus dilakukan seorang pemimpin untuk mempertanggungjawabkan tugasnya ke masyarakat Situbondo.
Judul yang lain, “APBD Belum Pro Rakyat Kecil” merupakan cerminan kesedihan saya. Koordinator Divisi Resources Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Jatim menyatakan bahwa “Belanja langsung 37,7 persen, belanja publik hanya 15,8 persen”. Mudah-mudahan apa yang di-press-release-kan oleh Fitra benar-benar untuk kepentingan Kabupaten Situbondo, bukan untuk kepentingan lain atau hidden agenda.

Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya memberikan definisi yang jelas siapa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah (Pemda). Pemda adalah Bupati dan DPRD. Jadi kepada dua institusi inilah masyarakat menaruhkan harapan agar kehidupannya menjadi lebih baik. Hidup menjadi lebih sejahtera, makmur dan wong cilik iso gumuyu.
Bupati dan DPRD harus bergandengan tangan, duduk bersama dan bahu membahu guna meningkatkan daya beli masyarakat. Angka kemiskinan turun, indeks pembangunan manusia naik dan derajat kesehatan masyarakat meningkat. Itu harapan masyarakat, tidak muluk-muluk bisa beli mobil atau barang mewah lainnya.
Kalau keinginan masyarakat itu terpenuhi, maka yang mendapat acungan jempol tidak hanya Bupati, tetapi DPRD akan mendapat pujian serupa. Ada kepuasan batin yang akan kita raih, ternyata tugas yang diembankan kepada kita memperoleh pengakuan dari masyarakat. Catatan emas sudah kita torehkan dalam sejarah hidup, yang akan dibaca anak-cucu kita nantinya.
Penutup
Kepada siapakah masyarakat harus menaruhkan harapan kalau tidak kepada panjenengan berdua, Bupati dan DPRD. Bekerjalah lebih giat, sehingga kehidupan masyarakat Situbondo menjadi lebih sejahtera. Hanya itu, tak lebih. Dan wong cilik iso gumuyu.
Senin, 02 Mei 2011 0 komentar

LEGISLATIF MENJADI EKSKUTIF?

Oleh: Winasis Yulianto*

Mudah-mudahan koran Radar Banyuwangi yang berjudul “Usulan Proyek DPRD Capai Rp 7,8 M” (Kamis, 10/2/2011) tidak benar. Kalau berita yang ditulis Radar Banyuwangi benar, betapa kita sudah tidak tahu lagi tugas dan fungsi antara legislatif dan ekskutif. Kegiatan proyek adalah kegiatan ekskutif, bukan kegiatan legislatif. Menyitir lagunya group band Armada, “Mau dibawa kemana hubungan kita”.
Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan soal RAPBD 2011, tetapi ingin mendudukkan posisi semula tugas dan fungsi masing-masing lembaga yang ada. Kita harus introspeksi diri, berkontemplasi, apakah tugas dan fungsi kita sudah kita laksanakan dengan seoptimal mungkin. Bukan kemudian kita justru terlibat dalam tugas dan fungsi lembaga lain, sementara kita masih punya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan.

Legislatif
Dari literatur yang saya baca, lembaga legislatif merupakan lembaga yang terhormat. Kawan-kawan yang duduk di lembaga itu juga orang-orang pilihan dan harus memiliki kualifikasi hebat. Karena itu, kawan-kawan yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang mumpuni, bukan orang sembarang.
Kawan-kawan yang duduk di legislatif sangat memahami apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Saya hanya mengingatkan kembali bahwa tugas dan fungsi legislatif adalah legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling). Ketiganya harus diperankan secara maksimal.
Legislasi adalah kewenangan untuk membuat peraturan, dalam konteks daerah adalah membuat peraturan daerah (perda) bersama-sama dengan ekskutif. Apapun substansi perda yang akan diatur harus dilakukan pembahasan dengan legislatif, termasuk perda tentang APBD.
Menyoal perda tentang APBD, berarti sekaligus peran legislatif dalam fungsi anggaran. Anggaran yang tertuang dalam APBD haruslah mengacu dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di atasnya. Tentu kita tidak mengharapkan ada persoalan hukum di kemudian hari bilamana kita paksakan penganggaran satu atau beberapa kegiatan yang melampaui angggaran yang telah diatur perundang-undangan di atasnya.
Fungsi pengawasan meliputi pengawasan kegiatan yang dilaksanakan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif. Legislatif dapat memanggil ekskutif untuk memberikan penjelasan terhadap kegiatan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif.
Pakem legislatif jelas pada tiga ruang ini. Jangan sampai legislatif keluar dari pakem perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Proyek
Proyek merupakan wilayah dan ruang ekskutif. Di situlah ekskutif memang dan seharusnya bekerja. Proyek merupakan sarana ekskutif untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukankan salah satu tujuan pendirian Negara ini adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa?
Dengan argumentasi apapun, legislatif tidak elok memasuki wilayah dan ruang ekskutif. Saya tidak sependapat dengan sumber di DPRD yang menyatakan “sebagian besar angggota DPRD mengajukan proyek fisik melalui revisi KUA-PPAS”, sekalipun dengan argumentasi “anggota DPRD (selain FKNU dan FKN) merasa konstituen mereka tidak diperhatikan karena minim sekali proyek yang ditempatkan di tempat mereka”. (Radar Banyuwangi, 10/2/2011). Apalagi angkanya mencapai 7,8 M., sebuah angka fantastis untuk sekelas kita di Kabupaten Situbondo.
Kalau asumsi “minim proyek yang ditempatkan di tempat mereka” benar, bawa saja hasil jaring aspirasi masyarakat tersebut ke musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di beberapa level tingkatan. Musrenbang dilaksanakan pada level desa/kelurahan, kecamatan dan kabuupaten. Perjuangan yang dapat dilakukan oleh kawan-kawan legislatif sebatas memasukkan proyek yang diharapkan menjadi prioritas pembangunan. Biarkan ekskutiflah yang memutuskan, apakah proyek yang diharapkan tercantum dalam RAPBD atau tidak.
Toh, masyarakatlah nanti yang akan memberikan penilaian. Bukankah suara rakyat suara Tuhan, vox Populi vox Dei.

Penutup
Mudah-mudahan paradigma legislatif menjadi ekskutif tidak akan pernah terjadi. Legislatif dan ekskutif sudah memiliki ruang dan wilayah bekerja masing-masing yang diatur dengan perundang-undangan. Mari kita bekerja di ruang dan wilayah kita. Dan itu, akan menjadi catatan sejarah kita bersama. Gusti Allah ora sare.
0 komentar

LEGISLATIF MENJADI EKSKUTIF?

Oleh: Winasis Yulianto*

Mudah-mudahan koran Radar Banyuwangi yang berjudul “Usulan Proyek DPRD Capai Rp 7,8 M” (Kamis, 10/2/2011) tidak benar. Kalau berita yang ditulis Radar Banyuwangi benar, betapa kita sudah tidak tahu lagi tugas dan fungsi antara legislatif dan ekskutif. Kegiatan proyek adalah kegiatan ekskutif, bukan kegiatan legislatif. Menyitir lagunya group band Armada, “Mau dibawa kemana hubungan kita”.
Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan soal RAPBD 2011, tetapi ingin mendudukkan posisi semula tugas dan fungsi masing-masing lembaga yang ada. Kita harus introspeksi diri, berkontemplasi, apakah tugas dan fungsi kita sudah kita laksanakan dengan seoptimal mungkin. Bukan kemudian kita justru terlibat dalam tugas dan fungsi lembaga lain, sementara kita masih punya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan.

Legislatif
Dari literatur yang saya baca, lembaga legislatif merupakan lembaga yang terhormat. Kawan-kawan yang duduk di lembaga itu juga orang-orang pilihan dan harus memiliki kualifikasi hebat. Karena itu, kawan-kawan yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang mumpuni, bukan orang sembarang.
Kawan-kawan yang duduk di legislatif sangat memahami apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Saya hanya mengingatkan kembali bahwa tugas dan fungsi legislatif adalah legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling). Ketiganya harus diperankan secara maksimal.
Legislasi adalah kewenangan untuk membuat peraturan, dalam konteks daerah adalah membuat peraturan daerah (perda) bersama-sama dengan ekskutif. Apapun substansi perda yang akan diatur harus dilakukan pembahasan dengan legislatif, termasuk perda tentang APBD.
Menyoal perda tentang APBD, berarti sekaligus peran legislatif dalam fungsi anggaran. Anggaran yang tertuang dalam APBD haruslah mengacu dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di atasnya. Tentu kita tidak mengharapkan ada persoalan hukum di kemudian hari bilamana kita paksakan penganggaran satu atau beberapa kegiatan yang melampaui angggaran yang telah diatur perundang-undangan di atasnya.
Fungsi pengawasan meliputi pengawasan kegiatan yang dilaksanakan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif. Legislatif dapat memanggil ekskutif untuk memberikan penjelasan terhadap kegiatan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif.
Pakem legislatif jelas pada tiga ruang ini. Jangan sampai legislatif keluar dari pakem perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Proyek
Proyek merupakan wilayah dan ruang ekskutif. Di situlah ekskutif memang dan seharusnya bekerja. Proyek merupakan sarana ekskutif untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukankan salah satu tujuan pendirian Negara ini adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa?
Dengan argumentasi apapun, legislatif tidak elok memasuki wilayah dan ruang ekskutif. Saya tidak sependapat dengan sumber di DPRD yang menyatakan “sebagian besar angggota DPRD mengajukan proyek fisik melalui revisi KUA-PPAS”, sekalipun dengan argumentasi “anggota DPRD (selain FKNU dan FKN) merasa konstituen mereka tidak diperhatikan karena minim sekali proyek yang ditempatkan di tempat mereka”. (Radar Banyuwangi, 10/2/2011). Apalagi angkanya mencapai 7,8 M., sebuah angka fantastis untuk sekelas kita di Kabupaten Situbondo.
Kalau asumsi “minim proyek yang ditempatkan di tempat mereka” benar, bawa saja hasil jaring aspirasi masyarakat tersebut ke musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di beberapa level tingkatan. Musrenbang dilaksanakan pada level desa/kelurahan, kecamatan dan kabuupaten. Perjuangan yang dapat dilakukan oleh kawan-kawan legislatif sebatas memasukkan proyek yang diharapkan menjadi prioritas pembangunan. Biarkan ekskutiflah yang memutuskan, apakah proyek yang diharapkan tercantum dalam RAPBD atau tidak.
Toh, masyarakatlah nanti yang akan memberikan penilaian. Bukankah suara rakyat suara Tuhan, vox Populi vox Dei.

Penutup
Mudah-mudahan paradigma legislatif menjadi ekskutif tidak akan pernah terjadi. Legislatif dan ekskutif sudah memiliki ruang dan wilayah bekerja masing-masing yang diatur dengan perundang-undangan. Mari kita bekerja di ruang dan wilayah kita. Dan itu, akan menjadi catatan sejarah kita bersama. Gusti Allah ora sare.

 
;