Para
filsuf Yunani hingga pemikir masa sekarang, menempatkan rakyat pada posisi yang
sangat mulia. Hampir setiap konstitusi di belahan dunia manapun, menempatkan
rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Indonesia misalnya, menempatkan kedaulatan
ada di tangan rakyat. Klausul tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu, demokrasi
mengajarkan pada kita bagaimana mekanisme pelaksanaan kedaulatan itu. Pemilihan
umum (pemilu) merupakan salah satu bentuk implementasi demokrasi. Bentuk pemilu
apapun, pemilu legislatif, pemilu presiden bahkan pilkada, selalu menempatkan
suara rakyat sebagai alat ukur untuk menempatkan siapa yang yang jadi pemenang.
Itulah suara rakyat, yang selalu disebut-sebut menjelang pemilu.
Perkembangan Vox
Populi
Dalam tataran praktis, tidak
selamanya Vox Populi (suara rakyat)
ditempatkan pada tempat yang terhormat. Sering kali, suara rakyat dalam pemilu
hanya dijadikan alat untuk meraih kemenangan, setelah itu ditinggalkan. Pada
era filsuf Yunani, selalu dikatakan bahwa Vox
Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan. Ini menunjukkan bahwa suara
rakyat selalu membawa kebenaran. Wakilnya pun, yang memperoleh mandat dari
rakyat, juga akan membawa suara kebenaran.
Pada dewasa ini orang tentu dapat
berkilah, ya itu jaman dulu. Ketika jumlah warga masyarakat tidak terlalu
banyak, maka kepentingannya pun juga belum terlalu banyak. Jadi suara rakyat,
benar-benar mewakili hati nurani. Yang berarti menyuarakan kebenaran. Dus, suara rakyat suara Tuhan.
Perkembangan berikutnya suara rakyat
turun derajatnya. Kalau pada awalnya suara rakyat suara Tuhan, pada era
raja-raja yang tidak berdasarkan konstitusi, suara sakyat malah tidak dianggap.
Dalam tataran teoritis, disebut Vox
Populi Vox Nihili. Kondisi demikian sangat berbahaya, karena pemegang
kekuasaan tak lagi mendengarkan suara rakyat. Padahal, kekuasaan itu
diperolehnya dari rakyat.
Untunglah, kekuasaan yang
mengabaikan suara rakyat tidak ada lagi di belahan bumi ini. Vox Populi Vox Nihili tinggal ada dalam
catatan sejarah. Karena catatan sejarah, dan menorehkan tinta yang kurang
bagus, tentu jangan kita ulangi kembali.
Perkembangan terakhir, lebih
menyedihkan lagi. Suara rakyat adalah suara gemercing uang (Vox Populi Vox Argentum). Sang kandidat
menyiapkan uang, rakyatnya yang jadi pemilih meminta uang sebagai ganti suara
yang diberikan. Jadi nilai suara rakyat, ya sebesar transaksional itu. Kamu
memilih ya aku bayar. Jadilah seperti apa yang kita kenal dengan money politic.
Pemilu Sebentar
Lagi
Insya Allah, hari Rabu tanggal 9
April 2014 kita akan melaksanakan pemilu legislatif. Tahapan-tahapan pemilu
sedang berlangsung. Daftar Calon Sementara segera diserahkan ke KPU sesuai
tingkatannya. Kenalilah para calon-calon itu sebelum kita sebagai pemilih
menetapkan pilihan kita. Pilihlah sesuai akal kita, agar kita tidak menyesal
terhadap pilihan kita.
Jangan tertarik diimingi-imingi “berjuang’ dan “merah biru ngereng panjenengan”. “Berjuang” bermakna beras, baju dan uang, sedangkan “merah biru ngereng panjenengan” bermakna
seratus ribu apa lima puluh ribu terserah calon.
Salah satu faktor tidak tidak
harmonisnya hubungan antara calon terpilih dengan pemilih adalah urusan money politic di atas. Sang calon
mengatakan saya sudah bayar, sedangkan pemilih beranggapan apa yang diterima
sebagai pengganti atas waktu memilih. Tidak jarang kemudian, mereka yang
terpilih enggan bertemu dengan pemilihnya.
Akhirnya, kepada kita semua pemilu
2014 akan bergantung. Akankah kita memilih Vox
Populi Vox Dei, Vox Populi Vox Nihili ataukah Vox Populi Vox Argentum.
2 komentar:
Menurut saya ketidak jujuran pemimpin yang melencengkah langkah Negara ini menuju haluan perusakan moral yang tak disadari oleh masyarakat kecil
jujur memang merupakan salah satu syarat jadi pemimpin. mudah-mudahan dibaca oleh pemimpin kita
Posting Komentar