Minggu, 14 November 2010

KEBUTUHAN TENAGA AHLI DPRD

KEBUTUHAN TENAGA AHLI DPRD

Oleh: Winasis Yulianto*

 

            Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendahului apa yang diamanatkan oleh UU No. 27 Tahun 2009 kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan pelaksanaan (baca: peraturan pemerintah) paling lambat satu tahun sejak diundangkan. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk menggurui kawan-kawan yang duduk di kursi DPRD. Tulisan ini merupakan ajakan penulis untuk bersama-sama melakukan kontemplasi, agar pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang menjadi lebih optimal.

            Penulis menyadari betul bahwa kawan-kawan yang duduk di kursi DPRD memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tidak diragukan lagi. Apalagi setiap partai politik juga telah memberikan pembekalan kepada setiap anggotanya yang duduk di kursi DPRD sebelum pelantikan dilaksanakan. Dengan dua alat ukur tersebut, setiap anggota DPRD telah siap dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya.

 

Peristilahan

            Secara normatif, belum ada kesamaan penyebutan terhadap tenaga ahli. Dalam UU No. 27 Tahun 2009 memberikan istilah yang tidak sama, Pasal 301 ayat (10) dan Pasal 352 ayat (10) menyebutnya dengan tenaga ahli, sedangkan Pasal 397 dan Pasal 399 menyebutnya dengan kelompok pakar atau tim ahli (KPTA). Istilah tenaga ahli juga dipergunakan dalam PP No. 41 Tahun 2007 maupun Permendagri No. 57 Tahun 2007. Perbedaan penyebutan tersebut tentu membawa konskuensi, istilah tenaga ahli dapat dimaknakan tunggal ataupun jamak, sedangkan istilah KPTA dapat dipastikan jamak.

            Dengan mengamati secara cermat, roh yang diinginkan oleh UU No. 27 Tahun 2009 KPTA akan membantu tugas anggota DPRD sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD. Ini berarti bahwa kinerja KPTA membantu fraksi maupun komisi. Dengan demikian jumlah KPTA tergantung pada jumlah fraksi dan komisi di masing-masing daerah.

            Keberadaan KPTA sangat ditentukan 2 hal: kebutuhan atas usul anggota DPRD dan kemampuan daerah. Penulis berpandangan bahwa kedua syarat tersebut bersifat komulatif, artinya kedua syarat tersebut harus terpenuhi. Bilamana anggota DPRD mengusulkan kepada sekretaris dewan bahwa diperlukan KPTA, sedangkan kemampuan daerah tidak ada, maka KPTA menjadi tidak ada. Sebaliknya, kemampuan daerah ada sedangkan anggota DPRD beranggapan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya tidak memerlukan KPTA, maka KPTA menjadi tidak ada.

            Yang cukup menggelisahkan, regulasi tentang KPTA ada pada grey area. Tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan tentang persyaratan untuk menjadi KPTA DPRD. Seluruh pengaturan pengangkatan dan pemberhentian ada di tangan sekretaris dewan. Dengan demikian, sekretaris dewan memiliki otoritas penuh (full powers) untuk mengangkat dan memberhentikan KPTA DPRD.

            Hal ini berbeda dengan staf ahli bupati maupun gubernur yang memiliki kriterium yang jelas untuk dapat diangkat sebagai staf ahli. Kriterium yang dimaksud adalah bahwa calon staf ahli yang diangkat harus berasal dari PNS dan akan didudukkan sebagai eselon II. Dalam regulasi kepegawaian, seseorang yang akan menduduki eselon II juga memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya harus golongan IV. Hak dan kewajiban untuk eselon II juga jelas, dapat kendaraan dinas dan tunjangan jabatan yang semuanya diatur dengan jelas dalam regulasi kepegawaian.

            Karena tidak diatur dengan regulasi yang jelas, maka hak dan kewajiban KPTA DPRD akan sangat tergantung pada good will sekretaris dewan. Sekretaris dewan dapat menentukan besar kecilnya honorarium dengan menganggarkannya dalam APBD. Akhirnya, optimal atau tidaknya kinerja KPTA DPRD tergantung pada honorarium yang diterimanya.

 

Keahlian yang dibutuhkan

            KPTA DPRD diamanatkan untuk mendukung pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD. Idealnya, setiap anggota DPRD memiliki satu orang KPTA, tetapi hal ini akan membawa konskuensi besarnya anggaran yang harus dibebankan di APBD. Penulis berpandangan bahwa KPTA cukup disesuaikan dengan jumlah fraksi dan komisi yang ada di DPRD. Dengan demikian jumlah KPTA di masing-masing daerah dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

            KPTA yang ditugaskan membantu fraksi, haruslah memiliki pengetahuan yang cukup tentang visi, misi dan program fraksi yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa pengetahuan tersebut, KPTA akan mengalami kesulitan dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh fraksi. Orang yang dapat mengemban posisi KPTA fraksi dapat saja berasal dari akademisi, profesional ataupun pihak lain yang menurut fraksi dapat memberikan pertimbangan kebijakan fraksi.

            Berbeda dengan KPTA yang ditempatkan di fraksi, KPTA yang ditempatkan di komisi harus orang yang benar-benar memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang komisi. Komisi A atau Komisi I DPRD, bergerak dalam bidang hukum dan pemerintahan. Idealnya, komisi ini memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu hukum dan ilmu pemerintahan. Kedua KPTA ini akan dapat mengcover pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Komisi A atau Komisi I DPRD.

            Komisi B atau Komisi II DPRD bergerak dalam bidang keuangan dan anggaran. Seperti halnya Komisi A, Komisi B idealnya juga memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu akuntansi dan ilmu manajemen (keuangan). KPTA Komisi B akan mengcover tugas Komisi B dalam menganalisis RAPBD, Nota Perhitungan APBD, PAPBD dan LKPJ Kepala Daerah, yang selanjutnya memberikan rekomendasi kepada Komisi B sebagai masukan dalam pembahasan materi-materi tersebut.

            Komisi C atau Komisi III lebih banyak bergerak di bidang pembangunan fisik, jalan, jembatan, bangunan dan seterusnya. KPTA yang diharapkan dapat mendorong fungsi, tugas dan wewenang Komisi C adalah mereka yang berlatar pendidikan teknik sipil atau profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik. Lebih ideal lagi, keduanya disatukan sebagai KPTA. KPTA yang berpendidikan teknik sipil sangat paham betul tentang pembangunan fisik berdasarkan teksbook yang ada. Sedangkan profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik paham betul tentang rimba proyek fisik.

            Komisi D atau Komisi IV bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang ini sangat jauh perbedaannya, karena itu KPTA harus berasal dari kedua bidang tersebut. KPTA yang membantu bidang pendidikan harus paham betul tentang dunia pendidikan. Sekretaris dewan maupun Komisi D dapat saja mensyaratkan untuk menjadi KPTA bidang pendidikan harus pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota atau Provinsi. Mereka yang pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan sudah teruji pemahamannya dalam dunia pendidikan.

            Sedangkan untuk KPTA bidang kesehatan, haruslah memiliki latar belakang pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan berlatar belakang pendidikan kesehatan masyarakat, diharapkan akan dapat memberikan masukan kepada Komisi D tentang kebijakan daerah di bidang kesehatan.

 

Penutup

            Eksistensi KPTA dalam mendukung pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD adalah sangat vital. Oleh karena itu, tidak ada lagi argumentasi tidak ada anggaran untuk meniadakan KPTA. Kawan-kawan ekskutif (baca: pemerintah daerah) sangat expert di bidangnya, dan itu harus diimbangi oleh kawan-kawan DPRD. Bila tidak, lagunya Iwan Fals dengan kalimat “nyanyian lagu setuju” akan sering terdengar lagi.

            Kepada kawan-kawan fraksi dan komisi DPRD, selamat memilih KPTA.

 

 

 

 



* Dosen Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo, tinggal di Perumahan Villa Situbondo Indah Blok C-15 Situbondo

 

 

1 komentar:

Zulfahmi mengatakan...

Staf ahli DPRD Kabupaten/kota, Provinsi harus disediakan sejak bulan pertama pelantikan anggota dewan yang baru saja terpilih dalam Pemilu 2014

Posting Komentar

 
;