Jumat, 03 Desember 2010 0 komentar

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DI DAERAH DAN IMPLEMENTASINYA DI KABUPATEN SITUBONDO

Oleh:

Winasis Yulianto, SH., M.Hum*

 

1.      Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui bersama, wilayah suatu negara terdiri dari wilayah darat, udara dan laut. Namun demikian, tidak setiap negara nemiliki wilayah laut. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ketiga bentuk wilayah di atas.

Berdasarkan perhitungan kasar, yang cara penetapan batas perairan Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960,[1] Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa luas wilayah Indonesia adalah 5.193.250 km², terdiri dari 2.027.087 km² berupa daratan dan 3.166.163 km² berupa lautan.[2] Dengan demikian, luas perairan Indonesia kira-kira 1½ lebih luas dari seluruh jumlah luas wilayah daratan.[3]

Dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations on the Law of the Sea), maka secara otomatis luas wilayah laut Indonesia semakin luas. Hal ini didasari pemikiran bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa negara pantai berhak atas Zona Ekonomi Eksklusif sampai sejauh 200 mil laut.[4]

Menyadari begitu luasnya wilayah perairan, pemerintah Indonesia berinisitif untuk memberikan sebagian pengelolaan wilayah perairan ke pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten atau kota. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

Politik hukum[5] pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada daerah ini membawa dampak yang luar biasa, karena aparat pemerintah di daerah ataupun masyarakat nelayan beranggapan bahwa nelayan dari daerah lain tidak lagi diijinkan memasuki perairan mereka. Bahkan kemudian muncul istilah dengan apa yang disebut “kapling laut”. Dampak lebih lanjut dari pengaturan ini adalah adanya konflik nelayan dari berbagai daerah karena memperebutkan wilayah tangkapan.

 

2.      Permasalahan

Penulisan ini akan mengangkat permasalahan sentral tentang politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah. Dari permasalahan sentral tersebut akan diurai menjadi permasalahan:

a.            Apakah dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah?

b.           Bagaimana jalan keluar yang harus diambil bilamana politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah membawa dampak negatif?

c.            Dalam skala lokal, apakah Kabupaten Situbondo telah mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut?

Penulisan ini menggunakan pendekatan fungsional hukum, dimana pada saat memerlukan pendekatan hukum normatif, maka pendekatan akan dilakukan dengan hukum normatif. Sebaliknya, bilamana diperlukan pendekatan hukum empiris, maka pendekatan akan dilakukan dengan menggunakan hukum empiris.

 

3.      Tujuan

Tujuan penulisan ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan untuk memberikan masukan kepada penentu kebijakan terhadap fakta di lapangan, sekaligus diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan yang akan diambil.

Tujuan khusus diarahkan untuk:

a.              Mengetahui lebih mendalam apakah dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah;

b.             Bagaimana jalan keluar yang harus diambil bilamana politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah membawa dampak negatif?

c.              Dalam skala lokal, apakah Kabupaten Situbondo telah mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut?

 

4.      Pembahasan

4.a. Dampak Pengaturan Pengelolaan Wilayah Laut di Daerah

Dalam memberikan pengaturan pengelolaan wilayah laut di daerah, UU Pemda menetapkan adanya perbedaan mendasar antara propinsi dengan kabupaten/kota. UU Pemda menetapkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut untuk provinsi sejauh 12 (duabelas) mil laut, sedangkan kabupaten/kota sejauh 1/3 (sepertiga) kewenangan provinsi atau 4 (empat) mil laut.[6]

Pemberian kewenangan oleh UU Pemda tersebut menimbulkan pemahaman di kalangan masyarakat nelayan bahwa nelayan dari luar daerah tidak diperkenankan memasuki wilayah mereka. Hal ini seperti yang dikatakan Sudirman Saad, “Namun, batasan ini sering diartikan oleh nelayan sebagai batasan yang mengikat, sehingga nelayan dari wilayah lain di sebelahnya tidak boleh masuk ke wilayah mereka”.[7]

Bahkan Johannes Hutabarat mengatakan bahwa undang-undang otonomi daerah memunculkan persepsi keliru. Berbagai daerah mengklaim wilayah laut sebagai daerah miliknya.[8]

Akibat lebih lanjut dari ketidakjelasan pengaturan tersebut mengakibatkan terjadinya konflik antarnelayan. Yang sering menjadi penyebab terjadinya konflik antarnelayan tersebut adalah perebutan area melaut. Data berikut ini menunjukkan bahwa konflik antarnelayan seringkali terjadi.

Tabel 1: Kasus-Kasus Perebutan Area Melaut di Indonesia

No.

Tanggal

Lokasi

Yang terlibat

Kerugian

1.

Oktober 2003

Perairan Jawal-Pemangkat, Sambas, Kalbar

Nelayan Jawal dan Pemangkat

Satu kapal disandera. Jalur transportasi Jawal-Pemangkat ditutup

2.

April 2005

Perairan Bantan, Bengkalis, Riau

Nelayan Bantan dengan nelayan kapal pukat harimau

Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar. Kerugian mencapai Rp. 3 miliar

3.

Mei 2005

Perairan Bantan, Bengkalis, Riau

Nelayan Bantan dengan nelayan pendatang asal Rangsang

Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar

4.

Mei 2005

Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat

Nelayan dan warga di sekitar Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan kapal pencuri ikan dari Alor, NTT.

-

5.

Mei 2005

Perairan Kaltim dan Kalsel

Nelayan Pekalongan dan Pati, Jateng dengan nelayan Kalsel.

-

Sumber: Kompas, Kamis 30 Juni 2005

 

Menurut penulis, anggapan nelayan tersebut tidak seluruhnya dapat dipersalahkan. Penulis berpendapat bahwa ada 2 (dua) faktor penyebab pandangan nelayan tersebut:

a.            UU Pemda tidak memberikan penjelasan secara rinci makna pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah. Penjelasan Pasal 18 UU Pemda hampir semuanya mengatakan cukup jelas, padahal ketentuan ini memerlukan penjelasan yang rinci sehingga tidak menimbulkan multitafsir;

b.           Kurangnya sosialisasi terhadap ketentuan pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah.

Penegasan terhadap pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Wakil Presiden, nelayan dari semua daerah bebas menangkap ikan di manapun dalam wilayah Indonesia. Konflik antar nelayan tidak perlu terjadi bila memahami, kekayaan laut sesungguhnya ditujukan untuk kesejahteraan nelayan itu sendiri”.[9]

Pemikiran yang hampir sama juga diajukan oleh Johannes Hutabarat. Johannes Hutabarat berpendapat bahwa konflik sebenarnya tidak perlu ada jika setiap nelayan sadar bahwa wilayah penangkapan ikan tidak dapat dipeta-petakan.[10]

Penegasan Wakil Presiden maupun pandangan Johannes Hutabarat tersebut memiliki nilai strategis, karena secara tidak langsung telah memberikan tafsir terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (4) UU Pemda. Dengan demikian, nelayan dapat menangkap ikan hingga ke luar daerah tempat tinggalnya tanpa adanya ketakutan terjadi konflik antarnelayan.

 

4.b. Langkah-Langkah Antisipatif

Guna menekan terjadinya konflik antarnelayan, maka diperlukan langkah-langkah antisipatif. Secara garis besar, langkah-langkah tersebut terdiri dari dua hal. Pertama, adalah berkaitan dengan pembangunan perangkat hukum. Pemerintah tampaknya perlu segera memberikan penafsiran secara tekstual dalam peraturan perundang-undangan terhadap ketentuan Pasal 18 UU Pemda. Hal ini penting, mengingat begitu maraknya konflik antarnelayan.[11]

Perangkat hukum yang dimaksud adalah perangkat hukum baik dalam skala nasional maupun lokal. Dalam skala nasional, pemerintah perlu menetapkan ketentuan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya di laut tidak berarti bahwa laut menjadi dipeta-petakan. Nelayan dari manapun sepanjang nelayan Indonesia, dapat mencari ikan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam skala lokal, daerah perlu menyusun peraturan daerah (perda) yang memperkuat ketentuan nasional.

Aspek lain yang perlu dilakukan terhadap pembangunan perangkat hukum adalah penegakan hukum. Pasal 18 ayat (3) huruf d memberikan kesempatan kepada daerah untuk melakukan penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah. Makna dari ketentuan ini adalah memberikan kesempatan kepada daerah untuk menetapkan perda yang berkaitan dengan pemberian kewenangan untuk mengelola sumber daya di laut. Agar perda tersebut berlaku efektif, sebaiknya didahului dengan perda di tingkat provinsi. Selanjutnya baru ditindaklanjuti dengan perda di tingkat kabupaten/kota.

Penegakan hukum akan lebih berjalan efektif dengan melakukan koordinasi antar dinas dan instansi terkait. Bahkan Kusnadi mengusulkan dengan jalan meningkatkan koordinasi dan menyamakan visi dalam membangun sektor kemaritiman daerah.[12]

Kedua, adalah dengan melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Pemberdayaan masyarakat ini sangat diperlukan guna meningkatkan daya saing masyarakat nelayan. Menurut Arif Satria, diperlukan sejumlah agenda guna pemberdayaan masyarakat nelayan ini:[13]

a.          Terus mengupayakan tersedianya skim kredit lunak dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas nelayan sehingga nelayan mampu menjadi “tuan rumah” di lautnya sendiri;

b.         Memacu peningkatan kualitas SDM nelayan, tidak semata pengetahuan, tetapi juga ketrampilan serta kesehatan, baik fisik maupun mental;

c.          Mengembangkan institusi ekonomi di masyarakat pesisir untuk menciptakan ketahanan ekonomi menghadapi dinamika perubahan luar;

d.         Memperkuat jaringan nelayan, yaitu intra-community, inter-community dan supra-community.

e.          Pemerintah mesti memberikan perlindungan hukum kepada nelayan yang selama ini dirugikan dalam berbagai kasus;

f.           Berbagai program pemberdayaan masyarakat nelayan perlu dilengkapi indikator keberhasilan.

Dari agenda pemberdayaan masyarakat pesisir di atas, maka diperlukan kerja sama lintas sektoral maupun lintas daerah. Tanpa kesungguhan dan keterpaduan semua pihak, tentu pemberdayaan masyarakat pesisir ini tidak akan tercapai.

 

4.c. Implementasi di Kabupaten Situbondo

Kabupaten Situbondo merupakan sebuah kabupaten dengan panjang pantai sekitar 150 km. Bilamana dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU Pemda, dimana Kabupaten Situbondo memiliki kewenangan pengelolaan sumber daya laut sampai dengan 4 (empat) mil laut, maka Kabupaten Situbondo memiliki luas wilayah laut sebanyak 960 km². Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Kabupaten Situbondo mampu memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor kelautan dan perikanan yang besar.

Namun demikian ternyata Kabupaten Situbondo belum mampu memberi masukan berupa PAD yang sepadan bila dibandingkan dengan belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo yang harus dibebankan kepada APBD. Tabel berikut memaparkan ketidakseimbangan antara pendapatan dan belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo:

 

Tabel 2: Pendapatan dan Belanja

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo

(dalam Rp.)

 

No.

Uraian

Pendapatan

Belanja

1.

APBD 2005

37.925.000,00

3.287.581.100,32

2.

PAPBD 2005

37.925.000,00

4.420.202.518,32

3.

APBD 2006

37.925.000,00

7.056.065.175,49

4.

PAPBD 2006

37.925.000,00

7.130.347.545,39

5.

APBD 2007

37.925.000,00

5.164.947.577,72

Sumber: Data Olahan

 

Keterangan:

1. APBD          : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

2. PAPBD        : Perubahan Anggaran dan Pendapatan Belanja

                          Daerah

 

            Bila kita perhatikan paparan data di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo relatif naik dari tahun ke tahun, kecuali tahun 2007.  Yang menjadi pertanyaan kemudian, pada pendapatan ternyata dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 tetap sama. Namun bila kita bandingkan dengan produksi ikan pada tahun 2003 dan 2004 mengalami kecenderungan meningkat. Pada tahun 2003 produksi ikan sebanyak 7.653,4 ton dengan nilai Rp. 25.544.550.000,- sedangkan tahun 2004 produksi ikan sebanyak 8.556 ton dengan nilai Rp. 29.703.930.000.[14]

            Bilamana kita memperhatikan kecenderungan produksi ikan yang meningkat, seharusnya pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Situbondo juga mengalami peningkatan. Namun berdasarkan fakta yang ada, pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Situbondo relatif tetap.

            Penulis berpendapat bahwa perolehan PAD dari sektor perikanan dan kelautan berasal dari retribusi yang dipungut dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Prakteknya, pemungutan retribusi tersebut tidak dapat dijalankan karena perda tentang retribusi tidak berjalan secara efektif. Kondisi ini lebih diperparah oleh tidak berperannya aparat penarik retribusi di TPI.

            Aspek lain yang mempengaruhi kecilnya PAD Kabupaten Situbondo dari sektor perikanan dan kelautan adalah adanya jual beli hasil penangkapan ikan di tengah laut. Dengan demikian, hasil tangkapan ikan tidak dibawa ke TPI, yang berarti mengurangi produksi ikan di TPI yang berakibat mengurangi retribusi yang masuk ke PAD.

            Hambatan lain yang dihadapi Kabupaten Situbondo adalah hasil tangkapan ikan dibawa ke pantai tetapi tidak  dimasukkan ke TPI. Jual beli antara nelayan dan pembeli dilakukan di luar are TPI. Sebagai akibatnya, mengurangi produksi ikan di TPI yang berakibat mengurangi retribusi yang masuk ke PAD.

 

5.      Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

a.       Dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah adalah munculnya konflik antarnelayan dalam memperebutkan wilayah peangkapan ikan;

b.      Jalan keluar yang harus diambil terhadap dampak negatif di atas, pemerintah harus menyusun perangkat hukum yang mampu memberi tafsir Pasal 18 UU Pemda;

c.       Dalam skala lokal, Kabupaten Situbondo belum mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya PAD Kabupaten Situbondo dari sektor perikanan dan kelautan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

a.       Pemerintah harus secepatnya menyusun perangkat hukum yang mampu memberikan tafsir Pasal 18 UU Pemda dan yang mampu memberikan perlindungan kepada nelayan;

b.       Perlu meningkatkan koordinasi dan penyamaan persepsi tentang pembangunan kemaritiman di daerah serta menyusun program yang memberdayakan masyarakat nelayan;

c.       Kabupaten Situbondo perlu segera menyusun perda yang lebih efektif dalam mengimplementasikan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumber daya di laut.

 

 

6.      Daftar Pustaka

 

Literatur:

 

Arif Satria, Menanti Gebrakan Kelautan ala SBY, Harian Kompas Senin 6 Desember 2004.

Departemen Pertahanan Keamanan Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut, Himpunan Prasaran Lokakarya II Pengimplementasian Wawasan Nusantara, Buku III, Jakarta, 1980.

Mahfud MD, Politilk Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986

 

Perundang-undangan:

Konvensi Hukum Laut 1982.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

 

Website:

 

www.kompas.co.id., Lamongan, Gresik, dan Madura Rawan Konflik Nelayan, Sabtu, 10 Agustus 2002.

www.kompas.co.id., Perlu Ada Perda untuk Atasi Konflik Nelayan di Jawa Timur, Rabu 16 April 2003.

www.kompas.co.id., Konflik Nelayan Wapres: Nelayan Bebas Menangkap Ikan, Sabtu, 8 April 2006.

 

Media Massa:

Duta Masyarakat, 4 Nelayan Kisik Luka Berat, Jumat 13 Mei 2005.

Kompas, Nelayan Jateng Terancam di Kalsel, Sabtu 21 Mei 2005.

Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005

Duta Masyarakat, Nelayan Bentrok di Selat Bali, Kamis 4 Agustus 2005.



[1] Ketentuan ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dimuat pada Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647.

[2] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, h. 195.

[3] Departemen Pertahanan Keamanan Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut, Himpunan Prasaran Lokakarya II Pengimplementasian Wawasan Nusantara, Buku III, Jakarta, 1980, h. 65.

[4] Vide Pasal 57 Konvensi Hukum Laut 1982.

[5] Politik hukum secara sederhana dpat diruuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Lihat Mahfud MD, Politilk Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1.

[6] Vide Pasal 18 ayat (4) UU Pemda.

[7] www.kompas.co.id., Lamongan, Gresik, dan Madura Rawan Konflik Nelayan, Sabtu, 10 Agustus 2002.

[8] Harian Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005.

[9] www.kompas.co.id., Konflik Nelayan Wapres: Nelayan Bebas Menangkap Ikan, Sabtu, 8 April 2006.

[10] Harian Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005.

[11] Vide Harian Duta Masyarakat, 4 Nelayan Kisik Luka Berat, Jumat 13 Mei 2005. Harian Duta Masyarakat, Bentrok di Laut, Diselesaikan Secara Hukum, Jumat 13 Mei 2005. Harian Kompas, Nelayan Jateng Terancam di Kalsel, Sabtu 21 Mei 2005. Harian Kompas, Masih Terancam di Kalsel. Nelayan Demo ke Jakarta, Selasa 14 Juni 2005. Harian Duta Masyarakat, Nelayan Bentrok di Selat Bali, Kamis 4 Agustus 2005.

[12] www.kompas.co.id., Perlu Ada Perda untuk Atasi Konflik Nelayan di Jawa Timur, Rabu 16 April 2003.

[13] Arif Satria, Menanti Gebrakan Kelautan ala SBY, Harian Kompas Senin 6 Desember 2004.

[14] Data ini diolah dari Situbondo dalam Angka Tahun 2004, hal. 245.



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Tetap dan Lektor Kepala mata kuliah Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.

 
;