Senin, 05 Desember 2011 0 komentar

PAK TRI

Saya tidak tau nama lengkapnya. Begitulah, setiap orang di lingkungan kampus memanggil namanya, “Pak Tri”.
Saya mengenalnya sudah hampir 20 tahun. Waktu itu, pertama kali saya ditugasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ke kampus ini. Saya berangkat tepat tengah malam dari Madiun, kota kelahiran saya. Jam 7 pagi saya sampai di depan kampus. Ada seorang mahasiswa dan ada seorang laki-laki tua, yang kemudian saya tahu namanya pak Tri.
“Saya mau menghadap pak Rektor”, begitu kata saya sambil menyalami tangan pak Tri.
Dengan tatapan mata yang tajam, pak Tri bilang, “Di sini aktifitasnya sore hari”. Itulah awal perkenalan saya dengan pak Tri, yang kemudian saya ketahui sebagai penjaga kampus. Pak Tri tinggal di lingkungan kampus, siang dan malam.
Hubungan saya dengan pak Tri semakin akrab ketika saya ditugasi oleh pimpinan menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik di Fakultas Hukum. Hampir setiap pagi hari saya selalu ke kampus, sekalipun kegiatan kampus sore hari. Ada saja yang saya kerjakan, baik sendiri ataupun bersama-sama dengan teman yang lain.
Keakraban saya dengan pak Tri semakin dekat, ketika istri saya mengandung anak pertama kami. Istri saya memilih tinggal di Madiun selama hamil sampai melahirkan.
Suatu sore, saya lupa tanggalnya, saya lagi mengetik sebuah naskah untuk mengajar sebuah mata kuliah. Ketika saya mengetik, ada telunjuk yang menunjuk monitor komputer sambil ada suara, “Pak Win salah”. Tanpa berpikir panjang, saya bilang “O iya”. Sambil saya membetulkan ketikan yang salah tersebut.
Tiba-tiba saya sadar, saya di ruangan kantor Fakultas Hukum sendirian. Terus tadi telunjuk siapa. Teriaklah saya memanggil “pak Trrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ………………”
Tergopoh-gopoh pak Tri datang. Padahal jarak antara ruangan kantor Fakultas Hukum dengan tempat tinggal pak Tri lumayan jauh.
Bedhe napa pak Win”, Tanya pak Tri dengan logat Madura yang sangat kental. Saya lantas cerita kejadian yang baru saja saya alami.
Die benyak cobena pak Win. Tapi pak Win tak usah takok. Dekik mon bedhe poleh, pak Win ngocak, saya kancana pak Tri. Beres pon”. Kalimat itu yang sampai saat ini selalu saya gunakan bila bulu kuduk saya merinding di kampus.
Ketika saya mengundurkan diri sebagai Pembantu Dekan, pak Tri tetap baik ke saya. Tidak ada perubahan perilaku ke saya, tetap ramah.
Akhir 2007, saya diminta pak Hadi untuk membantu beliau menjadi Pembantu Rektor bidang Akademik. Komunikasi saya dengan pak Tri semakin dekat. Pak Tri bukan saja sebagai orang yang membantu saya dalam melaksanakan tugas kampus, tapi juga menjadi teman berbicara ketika saya harus kerja sampai jauh malam, bahkan dini hari. Anak-anak sayapun, Aal dan Uul, juga dekat dengan pak Tri. Meskipun tidak setiap hari, anak-anak saya sering ditunggui pak Tri ketika anak-anak saya menunggu jemputan di ruangan kerja saya. Diajak ngobrol, dan sesekali pak Tri menggoda anak-anak saya kalau tidak boleh menunggu di ruangan Pembantu Rektor. Pak Tri selalu cerita kalau habis menggoda anak saya.
Tak terasa, sudah 19 tahun saya berkenalan dan berdekatan dengan pak Tri.
Akhir-akhir ini kampus sering kehilangan LCD di kelas. Tudingan diarahkan ke pak Tri yang mengambil. Secara pribadi, saya tidak percaya. Bagaimana mungkin LCD yang ditaruh di atas, pak Tri bisa mengambilnya? Berdiri saja kaki pak Tri sudah gemetar, apalagi naik ke atas.
Argumentasi saya dipatahkan oleh beberapa teman, “Memang bukan pak Tri yang mengambil sendiri, tapi suruhan orang lain”.
Puncaknya, pak Tri diberhentikan. Argumentasinya, pak Tri sudah memasuki usia pensiun. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Minggu lalu, pak Tri ke ruangan saya untuk pamitan.
Seporana mon bedhe kesalahan kaule pak Win”.
Saya tidak bisa berbicara sepatahpun. Hati saya menangis. Seorang tua renta, pulang dengan membawa “kekalahan”. Padahal pak Tri tidak pernah menuntut bayaran tinggi. Yang dipikirkan hanya sebuah jasa, bahwa orang tua seperti dia masih dibutuhkan oleh sebuah lembaga yang dikenal sebagai kampus. Kalimat itu sering diucapkan setiap kali berbicara dengan saya, karena itu saya hapal di luar kepala.
Mudah-mudahan saya masih bisa jadi saksi sejarah, bahwa tudingan pak Tri suka mengambil barang adalah tidak benar. Faktanya, walaupun pak Tri sudah dirumahkan, ternyata masih ada LCD yang hilang. Jadi, siapa sebenarnya pencuri itu. Jangan jangan, jangan jangan pelakunya adalah ……  
 
;