Jumat, 03 Desember 2010 0 komentar

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DI DAERAH DAN IMPLEMENTASINYA DI KABUPATEN SITUBONDO

Oleh:

Winasis Yulianto, SH., M.Hum*

 

1.      Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui bersama, wilayah suatu negara terdiri dari wilayah darat, udara dan laut. Namun demikian, tidak setiap negara nemiliki wilayah laut. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ketiga bentuk wilayah di atas.

Berdasarkan perhitungan kasar, yang cara penetapan batas perairan Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960,[1] Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa luas wilayah Indonesia adalah 5.193.250 km², terdiri dari 2.027.087 km² berupa daratan dan 3.166.163 km² berupa lautan.[2] Dengan demikian, luas perairan Indonesia kira-kira 1½ lebih luas dari seluruh jumlah luas wilayah daratan.[3]

Dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations on the Law of the Sea), maka secara otomatis luas wilayah laut Indonesia semakin luas. Hal ini didasari pemikiran bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa negara pantai berhak atas Zona Ekonomi Eksklusif sampai sejauh 200 mil laut.[4]

Menyadari begitu luasnya wilayah perairan, pemerintah Indonesia berinisitif untuk memberikan sebagian pengelolaan wilayah perairan ke pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten atau kota. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

Politik hukum[5] pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada daerah ini membawa dampak yang luar biasa, karena aparat pemerintah di daerah ataupun masyarakat nelayan beranggapan bahwa nelayan dari daerah lain tidak lagi diijinkan memasuki perairan mereka. Bahkan kemudian muncul istilah dengan apa yang disebut “kapling laut”. Dampak lebih lanjut dari pengaturan ini adalah adanya konflik nelayan dari berbagai daerah karena memperebutkan wilayah tangkapan.

 

2.      Permasalahan

Penulisan ini akan mengangkat permasalahan sentral tentang politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah. Dari permasalahan sentral tersebut akan diurai menjadi permasalahan:

a.            Apakah dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah?

b.           Bagaimana jalan keluar yang harus diambil bilamana politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah membawa dampak negatif?

c.            Dalam skala lokal, apakah Kabupaten Situbondo telah mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut?

Penulisan ini menggunakan pendekatan fungsional hukum, dimana pada saat memerlukan pendekatan hukum normatif, maka pendekatan akan dilakukan dengan hukum normatif. Sebaliknya, bilamana diperlukan pendekatan hukum empiris, maka pendekatan akan dilakukan dengan menggunakan hukum empiris.

 

3.      Tujuan

Tujuan penulisan ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan untuk memberikan masukan kepada penentu kebijakan terhadap fakta di lapangan, sekaligus diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan yang akan diambil.

Tujuan khusus diarahkan untuk:

a.              Mengetahui lebih mendalam apakah dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah;

b.             Bagaimana jalan keluar yang harus diambil bilamana politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah membawa dampak negatif?

c.              Dalam skala lokal, apakah Kabupaten Situbondo telah mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut?

 

4.      Pembahasan

4.a. Dampak Pengaturan Pengelolaan Wilayah Laut di Daerah

Dalam memberikan pengaturan pengelolaan wilayah laut di daerah, UU Pemda menetapkan adanya perbedaan mendasar antara propinsi dengan kabupaten/kota. UU Pemda menetapkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut untuk provinsi sejauh 12 (duabelas) mil laut, sedangkan kabupaten/kota sejauh 1/3 (sepertiga) kewenangan provinsi atau 4 (empat) mil laut.[6]

Pemberian kewenangan oleh UU Pemda tersebut menimbulkan pemahaman di kalangan masyarakat nelayan bahwa nelayan dari luar daerah tidak diperkenankan memasuki wilayah mereka. Hal ini seperti yang dikatakan Sudirman Saad, “Namun, batasan ini sering diartikan oleh nelayan sebagai batasan yang mengikat, sehingga nelayan dari wilayah lain di sebelahnya tidak boleh masuk ke wilayah mereka”.[7]

Bahkan Johannes Hutabarat mengatakan bahwa undang-undang otonomi daerah memunculkan persepsi keliru. Berbagai daerah mengklaim wilayah laut sebagai daerah miliknya.[8]

Akibat lebih lanjut dari ketidakjelasan pengaturan tersebut mengakibatkan terjadinya konflik antarnelayan. Yang sering menjadi penyebab terjadinya konflik antarnelayan tersebut adalah perebutan area melaut. Data berikut ini menunjukkan bahwa konflik antarnelayan seringkali terjadi.

Tabel 1: Kasus-Kasus Perebutan Area Melaut di Indonesia

No.

Tanggal

Lokasi

Yang terlibat

Kerugian

1.

Oktober 2003

Perairan Jawal-Pemangkat, Sambas, Kalbar

Nelayan Jawal dan Pemangkat

Satu kapal disandera. Jalur transportasi Jawal-Pemangkat ditutup

2.

April 2005

Perairan Bantan, Bengkalis, Riau

Nelayan Bantan dengan nelayan kapal pukat harimau

Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar. Kerugian mencapai Rp. 3 miliar

3.

Mei 2005

Perairan Bantan, Bengkalis, Riau

Nelayan Bantan dengan nelayan pendatang asal Rangsang

Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar

4.

Mei 2005

Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat

Nelayan dan warga di sekitar Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan kapal pencuri ikan dari Alor, NTT.

-

5.

Mei 2005

Perairan Kaltim dan Kalsel

Nelayan Pekalongan dan Pati, Jateng dengan nelayan Kalsel.

-

Sumber: Kompas, Kamis 30 Juni 2005

 

Menurut penulis, anggapan nelayan tersebut tidak seluruhnya dapat dipersalahkan. Penulis berpendapat bahwa ada 2 (dua) faktor penyebab pandangan nelayan tersebut:

a.            UU Pemda tidak memberikan penjelasan secara rinci makna pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah. Penjelasan Pasal 18 UU Pemda hampir semuanya mengatakan cukup jelas, padahal ketentuan ini memerlukan penjelasan yang rinci sehingga tidak menimbulkan multitafsir;

b.           Kurangnya sosialisasi terhadap ketentuan pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah.

Penegasan terhadap pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Wakil Presiden, nelayan dari semua daerah bebas menangkap ikan di manapun dalam wilayah Indonesia. Konflik antar nelayan tidak perlu terjadi bila memahami, kekayaan laut sesungguhnya ditujukan untuk kesejahteraan nelayan itu sendiri”.[9]

Pemikiran yang hampir sama juga diajukan oleh Johannes Hutabarat. Johannes Hutabarat berpendapat bahwa konflik sebenarnya tidak perlu ada jika setiap nelayan sadar bahwa wilayah penangkapan ikan tidak dapat dipeta-petakan.[10]

Penegasan Wakil Presiden maupun pandangan Johannes Hutabarat tersebut memiliki nilai strategis, karena secara tidak langsung telah memberikan tafsir terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (4) UU Pemda. Dengan demikian, nelayan dapat menangkap ikan hingga ke luar daerah tempat tinggalnya tanpa adanya ketakutan terjadi konflik antarnelayan.

 

4.b. Langkah-Langkah Antisipatif

Guna menekan terjadinya konflik antarnelayan, maka diperlukan langkah-langkah antisipatif. Secara garis besar, langkah-langkah tersebut terdiri dari dua hal. Pertama, adalah berkaitan dengan pembangunan perangkat hukum. Pemerintah tampaknya perlu segera memberikan penafsiran secara tekstual dalam peraturan perundang-undangan terhadap ketentuan Pasal 18 UU Pemda. Hal ini penting, mengingat begitu maraknya konflik antarnelayan.[11]

Perangkat hukum yang dimaksud adalah perangkat hukum baik dalam skala nasional maupun lokal. Dalam skala nasional, pemerintah perlu menetapkan ketentuan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya di laut tidak berarti bahwa laut menjadi dipeta-petakan. Nelayan dari manapun sepanjang nelayan Indonesia, dapat mencari ikan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam skala lokal, daerah perlu menyusun peraturan daerah (perda) yang memperkuat ketentuan nasional.

Aspek lain yang perlu dilakukan terhadap pembangunan perangkat hukum adalah penegakan hukum. Pasal 18 ayat (3) huruf d memberikan kesempatan kepada daerah untuk melakukan penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah. Makna dari ketentuan ini adalah memberikan kesempatan kepada daerah untuk menetapkan perda yang berkaitan dengan pemberian kewenangan untuk mengelola sumber daya di laut. Agar perda tersebut berlaku efektif, sebaiknya didahului dengan perda di tingkat provinsi. Selanjutnya baru ditindaklanjuti dengan perda di tingkat kabupaten/kota.

Penegakan hukum akan lebih berjalan efektif dengan melakukan koordinasi antar dinas dan instansi terkait. Bahkan Kusnadi mengusulkan dengan jalan meningkatkan koordinasi dan menyamakan visi dalam membangun sektor kemaritiman daerah.[12]

Kedua, adalah dengan melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Pemberdayaan masyarakat ini sangat diperlukan guna meningkatkan daya saing masyarakat nelayan. Menurut Arif Satria, diperlukan sejumlah agenda guna pemberdayaan masyarakat nelayan ini:[13]

a.          Terus mengupayakan tersedianya skim kredit lunak dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas nelayan sehingga nelayan mampu menjadi “tuan rumah” di lautnya sendiri;

b.         Memacu peningkatan kualitas SDM nelayan, tidak semata pengetahuan, tetapi juga ketrampilan serta kesehatan, baik fisik maupun mental;

c.          Mengembangkan institusi ekonomi di masyarakat pesisir untuk menciptakan ketahanan ekonomi menghadapi dinamika perubahan luar;

d.         Memperkuat jaringan nelayan, yaitu intra-community, inter-community dan supra-community.

e.          Pemerintah mesti memberikan perlindungan hukum kepada nelayan yang selama ini dirugikan dalam berbagai kasus;

f.           Berbagai program pemberdayaan masyarakat nelayan perlu dilengkapi indikator keberhasilan.

Dari agenda pemberdayaan masyarakat pesisir di atas, maka diperlukan kerja sama lintas sektoral maupun lintas daerah. Tanpa kesungguhan dan keterpaduan semua pihak, tentu pemberdayaan masyarakat pesisir ini tidak akan tercapai.

 

4.c. Implementasi di Kabupaten Situbondo

Kabupaten Situbondo merupakan sebuah kabupaten dengan panjang pantai sekitar 150 km. Bilamana dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU Pemda, dimana Kabupaten Situbondo memiliki kewenangan pengelolaan sumber daya laut sampai dengan 4 (empat) mil laut, maka Kabupaten Situbondo memiliki luas wilayah laut sebanyak 960 km². Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Kabupaten Situbondo mampu memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor kelautan dan perikanan yang besar.

Namun demikian ternyata Kabupaten Situbondo belum mampu memberi masukan berupa PAD yang sepadan bila dibandingkan dengan belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo yang harus dibebankan kepada APBD. Tabel berikut memaparkan ketidakseimbangan antara pendapatan dan belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo:

 

Tabel 2: Pendapatan dan Belanja

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo

(dalam Rp.)

 

No.

Uraian

Pendapatan

Belanja

1.

APBD 2005

37.925.000,00

3.287.581.100,32

2.

PAPBD 2005

37.925.000,00

4.420.202.518,32

3.

APBD 2006

37.925.000,00

7.056.065.175,49

4.

PAPBD 2006

37.925.000,00

7.130.347.545,39

5.

APBD 2007

37.925.000,00

5.164.947.577,72

Sumber: Data Olahan

 

Keterangan:

1. APBD          : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

2. PAPBD        : Perubahan Anggaran dan Pendapatan Belanja

                          Daerah

 

            Bila kita perhatikan paparan data di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo relatif naik dari tahun ke tahun, kecuali tahun 2007.  Yang menjadi pertanyaan kemudian, pada pendapatan ternyata dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 tetap sama. Namun bila kita bandingkan dengan produksi ikan pada tahun 2003 dan 2004 mengalami kecenderungan meningkat. Pada tahun 2003 produksi ikan sebanyak 7.653,4 ton dengan nilai Rp. 25.544.550.000,- sedangkan tahun 2004 produksi ikan sebanyak 8.556 ton dengan nilai Rp. 29.703.930.000.[14]

            Bilamana kita memperhatikan kecenderungan produksi ikan yang meningkat, seharusnya pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Situbondo juga mengalami peningkatan. Namun berdasarkan fakta yang ada, pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Situbondo relatif tetap.

            Penulis berpendapat bahwa perolehan PAD dari sektor perikanan dan kelautan berasal dari retribusi yang dipungut dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Prakteknya, pemungutan retribusi tersebut tidak dapat dijalankan karena perda tentang retribusi tidak berjalan secara efektif. Kondisi ini lebih diperparah oleh tidak berperannya aparat penarik retribusi di TPI.

            Aspek lain yang mempengaruhi kecilnya PAD Kabupaten Situbondo dari sektor perikanan dan kelautan adalah adanya jual beli hasil penangkapan ikan di tengah laut. Dengan demikian, hasil tangkapan ikan tidak dibawa ke TPI, yang berarti mengurangi produksi ikan di TPI yang berakibat mengurangi retribusi yang masuk ke PAD.

            Hambatan lain yang dihadapi Kabupaten Situbondo adalah hasil tangkapan ikan dibawa ke pantai tetapi tidak  dimasukkan ke TPI. Jual beli antara nelayan dan pembeli dilakukan di luar are TPI. Sebagai akibatnya, mengurangi produksi ikan di TPI yang berakibat mengurangi retribusi yang masuk ke PAD.

 

5.      Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

a.       Dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah adalah munculnya konflik antarnelayan dalam memperebutkan wilayah peangkapan ikan;

b.      Jalan keluar yang harus diambil terhadap dampak negatif di atas, pemerintah harus menyusun perangkat hukum yang mampu memberi tafsir Pasal 18 UU Pemda;

c.       Dalam skala lokal, Kabupaten Situbondo belum mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya PAD Kabupaten Situbondo dari sektor perikanan dan kelautan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

a.       Pemerintah harus secepatnya menyusun perangkat hukum yang mampu memberikan tafsir Pasal 18 UU Pemda dan yang mampu memberikan perlindungan kepada nelayan;

b.       Perlu meningkatkan koordinasi dan penyamaan persepsi tentang pembangunan kemaritiman di daerah serta menyusun program yang memberdayakan masyarakat nelayan;

c.       Kabupaten Situbondo perlu segera menyusun perda yang lebih efektif dalam mengimplementasikan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumber daya di laut.

 

 

6.      Daftar Pustaka

 

Literatur:

 

Arif Satria, Menanti Gebrakan Kelautan ala SBY, Harian Kompas Senin 6 Desember 2004.

Departemen Pertahanan Keamanan Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut, Himpunan Prasaran Lokakarya II Pengimplementasian Wawasan Nusantara, Buku III, Jakarta, 1980.

Mahfud MD, Politilk Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986

 

Perundang-undangan:

Konvensi Hukum Laut 1982.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

 

Website:

 

www.kompas.co.id., Lamongan, Gresik, dan Madura Rawan Konflik Nelayan, Sabtu, 10 Agustus 2002.

www.kompas.co.id., Perlu Ada Perda untuk Atasi Konflik Nelayan di Jawa Timur, Rabu 16 April 2003.

www.kompas.co.id., Konflik Nelayan Wapres: Nelayan Bebas Menangkap Ikan, Sabtu, 8 April 2006.

 

Media Massa:

Duta Masyarakat, 4 Nelayan Kisik Luka Berat, Jumat 13 Mei 2005.

Kompas, Nelayan Jateng Terancam di Kalsel, Sabtu 21 Mei 2005.

Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005

Duta Masyarakat, Nelayan Bentrok di Selat Bali, Kamis 4 Agustus 2005.



[1] Ketentuan ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dimuat pada Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647.

[2] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, h. 195.

[3] Departemen Pertahanan Keamanan Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut, Himpunan Prasaran Lokakarya II Pengimplementasian Wawasan Nusantara, Buku III, Jakarta, 1980, h. 65.

[4] Vide Pasal 57 Konvensi Hukum Laut 1982.

[5] Politik hukum secara sederhana dpat diruuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Lihat Mahfud MD, Politilk Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1.

[6] Vide Pasal 18 ayat (4) UU Pemda.

[7] www.kompas.co.id., Lamongan, Gresik, dan Madura Rawan Konflik Nelayan, Sabtu, 10 Agustus 2002.

[8] Harian Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005.

[9] www.kompas.co.id., Konflik Nelayan Wapres: Nelayan Bebas Menangkap Ikan, Sabtu, 8 April 2006.

[10] Harian Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005.

[11] Vide Harian Duta Masyarakat, 4 Nelayan Kisik Luka Berat, Jumat 13 Mei 2005. Harian Duta Masyarakat, Bentrok di Laut, Diselesaikan Secara Hukum, Jumat 13 Mei 2005. Harian Kompas, Nelayan Jateng Terancam di Kalsel, Sabtu 21 Mei 2005. Harian Kompas, Masih Terancam di Kalsel. Nelayan Demo ke Jakarta, Selasa 14 Juni 2005. Harian Duta Masyarakat, Nelayan Bentrok di Selat Bali, Kamis 4 Agustus 2005.

[12] www.kompas.co.id., Perlu Ada Perda untuk Atasi Konflik Nelayan di Jawa Timur, Rabu 16 April 2003.

[13] Arif Satria, Menanti Gebrakan Kelautan ala SBY, Harian Kompas Senin 6 Desember 2004.

[14] Data ini diolah dari Situbondo dalam Angka Tahun 2004, hal. 245.



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Tetap dan Lektor Kepala mata kuliah Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.

Minggu, 14 November 2010 1 komentar

STRATEGI MENARIK INVESTOR KE KABUPATEN SITUBONDO

STRATEGI MENARIK INVESTOR KE KABUPATEN SITUBONDO

Oleh: Winasis Yulianto*

 

Pendahuluan

            Pembangunan di daerah tidak selalu dapat ditangani sendiri oleh pemerintah daerah maupun masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dalam konteks seperti itu, pemerintah daerah memerlukan investasi dari dalam maupun dari luar negeri. Kedua model investasi tersebut akan mendorong mempercepat proses pembangunan yang dilaksanakan.

            Diundangkannya UU No. 32 Tahu 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka peluang yang cukup signifikasi bagi daerah dalam menarik investor. Masing-masing daerah memiliki seni yang berbeda untuk mempromosikan sumber daya yang dimilikinya. Semakin tinggi investor yang dapat ditarik, akan berpengaruh terhadap indeks pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan.

            Kabupaten Situbondo sebagai salah satu daerah yang sedang giat melaksanakan pembangunan, juga berupaya keras menarik investor. Urusan Wajib Penanaman Modal pada tahun 2006 dilaksanakan oleh DISPERINDAGPAR dengan kegiatan antara lain Promosi Potensi Daerah dalam rangka menarik Investor untu menanamkan modalnya di Kabupaten Situbondo (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2007:44).

            Dalam menarik investor, Kabupaten Situbondo menghadapi berbagai kendala, diantaranya kurangnya informasi, promosi dan rumitnya perizinan untuk investor. Kendala-kendala ini merupakan tantangan bagi Pemerintah Kabupaten Situbondo yang memerlukan solusi, agar investor dapat tertarik menanamkan modalnya di Kabupaten Situbondo.

            Penulisan ini akan mencoba mencari kendala, dan selanjutnya memberikan solusi agar investor menjadikan Kabupaten Situbondo menjadi salah satu pilihan dalam menanamkan modalnya.

 

Permasalahan

            Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam menarik investor tentu memiliki hambatan- hambatan. Penulisan ini akan mencari jawab atas pertanyaan:

1.      Apakah hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam menarik investor?

2.      Bagaimanakah solusi yang diperlukan dalam menghadapi hambatan-hambatan tersebut?

 

Pembahasan

1.      Kurangnya Informasi

Pada tata ekonomi baru dunia seperti sekarang ini, berbagai informasi mengalir deras tanpa batas. Sekat negara hampir tidak ada karena teknologi informasi. Berbagai informasi dapat diakses dari belahan bumi manapun tanpa terbatas tempat dan waktu.

Faktor kesempatan sudah terbuka. Yang diperlukan kemudian adalah kemauan dan kemampuan untuk mengakses informasi tentang investasi. Pemerintah Kabupaten Situbondo perlu melatih staf khusus yang bertugas mengakses seluruh peluang investasi dari belahan bumi manapun.

Informasi investasi juga dapat diperoleh dari lembaga Negara maupun instansi provinsi yang menangani investasi. Pada tataran ini, Pemerintah Kabupaten Situbondo perlu melakukan kontak sesering mungkin dengan instansi dimaksud. Dalam hal diperlukan, Pemerintah Kabupaten Situbondo perlu “menanam” petugas khusus di instansi-intansi dimaksud guna memperoleh informasi yang cepat dan akurat tentang peluang investasi yang ada. Tentu, adagium “jer basuki mowo bea” tidak dapat ditinggalkan, untuk memperoleh kesejahteraan memerlukan beaya.

 

2.      Kurangnya promosi potensi

Potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Situbondo tidak kalah dengan potensi yang dimiliki oleh daerah lain. Kurangnya promosi potensi, berakibat kurang dikelolanya potensi yang dimiliki Kabupaten Situbondo bila dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu, menjadi tantangan bersama antara masyarakat dan pemerintah untuk terus melakukan promosi potensi.

Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur mengkualifikasikan peluang investasi di Kabupaten Situbondo menjadi sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier (www://bpmjatim.com/id/?page_id=167). Sektor primer terdiri dari: Pertanian tanaman pangan dan holtikultura (mangga dan anggur), perkebunan (kelapa, tebu, kopi, tembakau dan melinjo), peternakan (Sapi Potong, Kambing dan Sapi Kereman), perikanan, Pertambangan (gamping, Andesit (Batu Gunung), sirtu dan tras)

Pada Sektor Sekunder, peluang investasi meliputi:

a.       Industri makanan dan minuman meliputi pengolahan buah mangga, pengaengan ikan, indutri rokok Sistem Kretek Tangan (SKT)

b.      Industrianeka meliputi Industri pengolahan kulit kerang

c.       Industrikimia; Penyulingan minyak bumi

d.      Industrikayu meliputi Industri mebel kayu

Pada Sektor Tersier, peluang investasi meliputi:

a.       Perdagangan, meliputi Jasa perdagangan ekspor dan impor

b.      Pariwisata, meliputi:

• Pengembangan obyek wisata Pantai Pasir Putih

• Pengembangan obyek wisata Taman Nasional Baluran

Data potensi yang dipromosikan melalui badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur tersebut harus terus menerus diperbaharui dalam waktu tertentu. Media promosi harus terus dikembangkan, baik melalui website Pemerintah Kabupaten Situbondo  maupun media massa lain. Website Pemerintah Kabupaten Situbondo yang sering under construction tidak boleh lagi terjadi, karena peluang investasi tidak datang dua kali. Begitu kesempatan investasi hilang, maka sulit bagi Kabupaten Situbondo untuk memperoleh peluang itu kembali.

 

3.      Rumitnya pengurusan izin investasi

Pada awalnya, pengurusan izin investasi di Kabupaten Situbondo dikelola oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Diundangkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah membawa dampak penting bagi perangkat daerah di Kabupaten Situbondo. Dalam bidang perizinan, dialihkan kewenangannya kepada Kantor Pelayanan Terpadu. Problemnya adalah, apakah proses perizinan benar-benar beralih ke instansi baru hasil bentukan PP No. 41 Tahun 2007 tersebut.

Dalam praktek, menurut penulis, masih ada keenganan dari instansi lama untuk melepas kewenangan perizinan kepada instansi baru. Kondisi ini logis, mengingat perizinan merupakan pekerjaan “basah”, yang apabila dialihkan akan mengurangi pendapatan instansi lama. Penulis meyakini bahwa kondisi ini diketahui oleh petinggi pemerintah kabupaten, namun sejauh sekarang belum ada langkah taktis untuk mengakhiri kondisi ini.

Pemerintah Kabupaten Situbondo seharusnya mencanangkan one day service bagi pelayanan perizinan. Bilaman proses perizinan melebih satu hari, maka proses perizinan dibebaskan dari beaya. Program ini akan memacu instansi perizinan untuk bekerja secara efektif dan efisien karena dipacu target harus selesai dalam satu hari. Bagi investor yang mengurus perizinan, akan memperoleh manfaat yang besar dengan waktu yang singkat dalam mengurus perizinan. Otomatis, investor akan bergerak cepat dengan telah memperoleh izin untuk segara menanamkan modalnya di Kabupaten Situbondo.

 

Kesimpulan dan saran

            Hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam menarik investor diantaranya meliputi:

1.      Kurangnya informasi tentang adanya investor yang akan menanamkan modalnya;

2.      Kurangnya promosi potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Situbondo;

3.      Rumitnya pengurusan izin investasi

Dari hambatan-hambatan yang ditemui pada kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1.      Pemerintah Kabupaten Situbondo harus terus menerus mengakses peluang investasi;

2.      Pemerintah Kabupaten Situbondo harus terus menerus melakukan promosi potensi yang dimiliki;

3.      Pemerintah Kabupaten Situbondo melakukan deregulasi investasi untuk mempermudah proses perizinan investasi.

 

Bahan Bacaan:

 

Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah Dan Peluang Investasi, disampaikan dalam ‘Government Conference’ tentang “Peluang Investasi dan Otonomi Daerah” yang diadakan di Jakarta, 29-30 September 2000.

 

Pemerintah Kabupaten Situbondo, Pidato Bupati Situbondo tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Tahun Anggaran 2006, Situbondo, Juli 2007.

 

 

Website:

APKASI, Pemberdayaan Investasi Daerah, Disajikan pada Seminar Tantangan Otonomi Daerah : Strategi Pemberdayaan Daya Saing Daerah, APKASI-Majalah Gatra- Paragon Communications, Ballroom Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 5-6 September 2001, http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=print &sid=101, diunduh hari Rabu tanggal 14 Oktober 2009 pukul 04.14 wib.

 

Badan Penanaman Modal Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Situbondo, http://bpmjatim.com/id/?page_id=167, diunduh hari Rabu tanggal 14 Oktober 2009 pukul 06.30 wib.



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

0 komentar

MENUNGGU KERJA SAMA KABUPATEN SITUBONDO DENGAN LUAR NEGERI

MENUNGGU KERJA SAMA KABUPATEN SITUBONDO DENGAN LUAR NEGERI

Oleh: Winasis Yulianto*

 

            Membaca sekilas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Situbondo dari tahun ke tahun, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Situbondo tidak pernah mengalami kenaikan yang signifikan. PAD Kabupaten Situbondo  ada di kisaran antara 20 sampai dengan 30 milyard rupiah per tahun. Upaya-upaya yang dilakukan guna meningkatkan PAD masih relatif tetap. Artinya, langkah-langkah yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan cenderung apa yang sudah ada, bukan langkah-langkah terobosan yang akan meningkatkan PAD secara signifikan.

            Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan Departemen Luar Negeri telah membuka kran kerjsa antara daerah dengan luar negeri. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU HLN), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU PI), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Peraturan Menteri Luar Negeri 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah (Permenlu) merupakan bukti nyata bahwa Pemerintah Pusat memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk memanfaatkan segala peluang guna meningkatkan PAD. Sebagai goal yang diharapkan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

            Ketika kran sudah dibuka, yang kita tunggu adalah keberanian daerah untuk memanfaatkan peluang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Daerah lain sudah berloma-lomba memanfaatkan peluang yang dimaksud, sister city alias kota kembar sebagai salah satu contoh. Jangan melihat Jakarta dan Surabaya yang sudah lama bekerja sama dalam bentuk sister city dengan Tokyo (Jepang) maupun Busan (Korea), tapi tengok Kota Madiun yang sudah berancang-ancang untuk bekerja sama dengan Daewoo (Korea) untuk tata ruang dan wilayah. Bagaimana dengan Kabupaten Situbondo, pernahkah kita berpikir untuk membuka kerja sama dengan negara lain?

            Tulisan ini akan mengajak pemegang kekuasaan dan masyarakat Kabupaten Situbondo untuk berkontemplasi apakah sudah waktunya kita membuka kerja sama dengan luar negeri. Tujuan kita satu, untuk lebih meningkatkan PAD yang selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Situbondo.

 

Langkah awal

            Sebagai langkah awal, kita harus mampu melihat potensi apa yang kita punya. Kita siapkan data base yang cukup, sehingga orang lain (baca: luar negeri) dapat membaca segala potensi yang kita miliki.

            Sebagai ide awal, potensi laut kita yang begitu hebat, harus kita tonjolkan ke depan. Panjang laut kita tidak kurang dari 150 km, ini memiliki potensi yang besar untuk digarap, yang sejauh sekarang kurang mendapat perhatian kita bersama. Mari kita bandingkan antara pendapatan dan belanja di bidang kelautan kita, sudahkah sebanding, ataukah masih terdapat perbandingan yang tidak seimbang antara pendapatan dan belanja. Sejauh yang saya ketahui, pendapatan dan belanja kita di bidang kelautan yang tertuang di APBD Kabupaten Situbondo belum berimbang, belanja kita lebih besar daripada pendapatan kita. Apa yang salah dalam pengelolaan wilayah laut kita, kita perlu terus mencari sebab musabab tanpa menuding kesalahan itu pada pihak-pihak tertentu.

            Kedua, bidang pendidikan. Kita harus mengakui secara jujur, sudah pada tingkat mana pendidikan masyarakat kita. Sudahkah masyarakat kita memiliki pendidikan yang cukup, berapa prosen masyarakat kita yang berpendidikan sekolah dasar, sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Kalau ternyata prosentase masyarakat kita lebih tinggi yang berpendidikan sekolah dasar, apa yang harus kita lakukan untuk menguranginya, yang secara otomatis meningkatkan prosentase pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.

            Cukupkah kita melakukannya sendirian ataukah kita memerlukan bantuan pihak lain dalam meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Situbondo. Perlukah kita melakukan tukar menukar murid, mahasiswa, guru maupun dosen-dosen kita dengan pihak luar negeri. Perlukah kita memperoleh pengalaman pengelolaan manajemen pendidikan dengan luar negeri. Perlukah kita memperoleh bantuan literatur mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yang ada di Situbondo.

            Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kita bersama bahwa kita perlu terus mengetahui perkembangan dunia pendidikan. Goal yang kita harapkan satu, pendidikan di Kabupaten Situbondo tidak tertinggal dari daerah lain, lebih baik lagi tidak tertingal dari negara lain. Upaya ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan dengan langkah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang terus menerus meningkatkan mutu pendidikan. Pernahkah kita mengetahui bahwa Depdiknas membuat buku digital dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum?

            Ketiga, masalah kesehatan. Kita perlu dengan jujur mengukur derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Situbondo. Apakah derajat kesehatan masyarakat kita buruk, sedang atau baik. Bagaimana dengan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit, puskesmas, klinik atau apapun namanya yang penting fasilitas pelayanan kesehatan. Bagaimana dengan sumber daya manusia pelayan kesehatan masyarakat. Berapa orang dokter spesialis yang kita miliki, yang stand by di Kabupaten Situbondo selama 24 jam per hari, 30 hari per bulan.

            Demikian pula rumah sakit kita. Rumah sakit kita sekarang pada posisi tipe apa. Sudahkah kita berancang-ancang untuk meningkatkan tipe rumah sakit kita. Apakah sarana dan prasarana yang kita miliki sudah mencukupi dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Apakah tenaga medis dan paramedis sudah memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat, termasuk masyarakat kurang sejahtera (baca: miskin).

            Tiga bidang tersebut, kelautan, pendidikan dan kesehatan adalah langkah awal yang dapat kita jadikan pilot project dalam bekerja sama dengan luar negeri. Kalau itu yang disepakati, kita perlu segera menyiapkan langkah-langkah awal. Tidak ada sesuatu yang terlambat untuk memulai hal-hal yang baik.

 

Lantas bagaimana

            Langkah pertama yang harus kita lakukan, adalah melakukan pembicaraan dengan DPRD Kabupaten Situondo tentang rencana bekerja sama dengan luar negeri. Kita sangat berharap DPRD menyetujui langkah kita untuk melakukan kerja sama dengan luar negeri. Spesifikasi apa yang akan menjadi fokus kerja sama, akan ditentukan dalam pembahasan bersama antara Pemerintah Kabupaten dengan DPRD.

            Dalam pembahasan dengan DPRD, perlu juga diputuskan dengan kota negara mana kita akan bekerja sama. Sebagai pertimbangan, kita perlu mengetahui geografis dan karakter kota yang akan menjadi partner kerja sama kita.

            Kabupaten Situbondo adalah wilayah yang sebagian besar pada wilayah pantai. Dalam bidang kelautan, kita harus memilih kota di luar negeri yang memiliki geografis dan topografis yang sama dengan Kabupaten Situbondo. Dinas terkait tentu memiliki data berkaitan dengan itu. Demikian pula bidang pendidikan dan kesehatan, kita harus memiliki pertimbangan yang matang dalam menentukan kota di luar negeri yang akan kita gandeng bekerja sama.

            Bilamana telah tercapai kesepakatan dengan DPRD, Pemerintah Kabupaten segera mengkonsultasikan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya, tentu dikonsultasikan dengan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan Departemen Luar Negeri.

 

Model kerja sama

            Sepengetahuan saya, ada beberapa model kerja sama. Pertama, daerah melakukan kontak langsung dengan kota di luar negeri yang akan digandeng bekerja sama. Bilamana kesepakatan tercapai, masing-masing akan melaporkan kepada Pemerintah Pusatnya. Laporan daerah ke Pemerintah Pusat ini merupakan bentuk pengawasan Pemerintah Pusat kepada daerah.

            Model kedua, kota di luar negeri melakukan kontak dengan daerah untuk diajak bekerja sama. Bila masing-masing pihak menyetujui rencana kerja sama, masing-masing melaporkan ke Pemerintah Pusatnya. Namun model ini jarang sekali terjadi, apalagi bilamana daerah kurang (baca: tidak) melakukan promosi tentang potensinya sehingga menarik kota di luar negeri untuk mengajak bekerja sama. Oleh karena itu, website memiliki peran yang cukup besar untuk mempromosikan daerah.

            Model ketiga, daerah meminta kepada Pemerintah Pusat untuk mencarikan kerja sama dengan kota di luar negeri. Pemerintah Pusatlah yang aktif mencarikan pihak yang akan diajak kerja sama. Oleh karena itu, komunikasi antara daerah dengan Pemerintah Pusat harus intens, sehingga akan terwujud kerja sama antara daerah dengan luar negeri.

            Model keempat, Pemerintah Pusat mendapat tawaran kerja sama dari kota di luar negeri yang selanjutnya Pemerintah Pusat akan memilih daerah tertentu untuk mewujudkan tawaran kerja sama. Keaktifan daerah menanyakan kepada Pemerintah Pusat adanya kesempatan kerja sama dengan kota di luar negeri merupakan kunci terwujudnya kerja sama.

            Dari berbagai model yang ada, Kabupaten Situbondo akan dapat mengukur diri, lewat pintu mana akan melakukan kerja sama. Model pertama, kedua, ketiga ataukah keempat yang akan dipilih, kita tunggu implementasinya.

 

Penutup

            Masih berapa lama lagi kita harus menunggu terwujudnya kerja sama antara Kabupaten Situbondo dengan luar negeri. Mudah-mudahan, kalimat “government knows better” tidak tergantikan dengan kalimat “individual knows better”. Semoga.

 



* Lektor Kepala mata kuliah Hukum Internasional pada FH Univ. Abdurachman Saleh Situbondo, tinggal di Perum Villa Situbondo Indah Blok C-15 Situbondo

 

 
;