I.
PENDAHULUAN
Perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945,
membawa implikasi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945
melahirkan lembaga-lembaga tinggi Negara baru (Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah) serta menghapus Dewan Pertimbangan Agung.
Perubahan UUD 1945 juga memangkas kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
untuk selanjutnya disebut MPR. Pada masa sebelum Perubahan UUD 1945, MPR
memiliki kewenangan untuk:
a. Menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.
b. Memilih
dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Sesudah Perubahan UUD 1945, kewenangan MPR
meliputi:
a. Mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. Melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c. Memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang
Dasar.
Implikasi
lebih lanjut pemangkasan kewenangan MPR di atas, program pembangunan yang pada
awalnya tertuang dalam garis-garis besar daripada haluan Negara tidak
memperoleh tempat. Sebagai terobosan hukum, diundangkanlah Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutnya
disebut UU SPPN. Sebagai tindak lanjut dari UU SPPN, diundangkanlah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005 – 2025, untuk selanjutnya disebut UU RPJPN 2005 – 2025.
Dalam UU RPJPN 2005 – 2025 terdapat
beberapa bidang pembangunan, yaitu:
a.
Sosial
Budaya dan Kehidupan Beragama;
b.
Ekonomi;
c.
Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi;
d.
Sarana
dan Prasarana
e.
Politik;
f.
Pertahanan dan Keamanan;
g.
Hukum dan Aparatur;
h.
Wilayah dan Tata Ruang; dan
i.
Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program Pembangunan Nasional bidang hukum,
dinyatakan bahwa :
Dalam era reformasi upaya
perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal.
Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih
baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitt
berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses
pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara
dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang
berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan
koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan
perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif
terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman
dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi
Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku
hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check
and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan
administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah
Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan.
Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup
representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan
dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna,
sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara
lebih efektif dan efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang
mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum
nasional yang dicita-citakan.
Program pembangunan nasional di bidang hukum
sebagaimana yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 – 2025 merupakan politik hukum
pemerintah. Politik hukum pemerintah merupakan kebijakan pemerintah dalam melaksaanakan
pembangunan di bidang hukum. Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum itu
adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk
membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan Negara.
Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum
sebagai proses pencapaian tujuan Negara.
Makalah ini akan berupaya mengkaji apakah politik
hukum pemerintah yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 – 2025 mencerminkan cita
hukum bangsa dan Negara Indonesia.
II.
HAKEKAT
POLITIK HUKUM
Sejauh pengetahuan penulis, sampai hari ini belum
ada kata sepakat tentang hakekat politik hukum. Bahkan menurut Moh. Mahfud MD,
membuat definisi tentang “politik hukum” sama tidak sederhananya dengan membuat
definisi tentang “hukum” atau “sistem hukum”. Artinya ia agak sulit dirumuskan
dalam satu rangkaian yang dapat memberikan pengertian yang utuh tentang apa
yang sebenarnya didefinisikan.
Namun demikian, ada sejumlah ahli pernah
mengemukakan definisi tentang politik hukum. Satjipto Rahardjo berpendapat
bahwa studi politik hukum memberikan jawaban atas pertanyaan:
1.
Tujuan
apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada? Tujuan ini bisa berupa
satu tujuan besar yang tunggal, bisa juga dipecah-pecah ke dalam tujuan-tujuan
yang lebih spesifik menurut bidang, seperti ekonomi, sosial, yang kemudian
masih dipecah-pecah ke dalam tujuan yang lebih kecil lagi.
2.
Cara-cara
apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan
tersebut? Termasuk di dalamnya persoalan pemilihan antara hukum tertulis atau
tidak tertulis, antara sentralisasi dan desentralisasi.
3.
Kapankah
waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaiman perubahan itu
sebaiknya dilakukan?
4.
Dapatkah
dirumuskan suatu pula yang mapan yang bisa memutuskan kita dalam proses
pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut? Termasuk di
dalamnya proses untuk memperbaharui hukum secara efisien: dengan perubahan
total?, dengan perubahan bagian demi bagian.
Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum
sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku
di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Definisi ini mencakup hukum positif (ius
constitutum) dan hukum yang akan ditetapkan kemudian (ius constituendum).
Agak berbeda dengan TM. Radhie, Padmo Wahjono
mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.
Solly Lubis berpendapat bahwa politik hukum adalah
kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku
mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sedangkan Sudarto berpendapat bahwa politik hukum
merupakan kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.
Dari berbagai pendapat tentang definisi politik
hukum, penulis berkesimpulan bahwa politik hukum adalah kebijakan yang
ditetapkan oleh lembaga Negara yang berwenang untuk mengarahkan peraturan
perundangan yang akan dibangun yang diarahkan guna mencapai tujuan bangsa dan
Negara.
III.
PROGRAM
PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG HUKUM
III. 1. Dasar Pertimbangan
Konsiderans menimbang UU RPJPN 2005 - 2025
menyatakan bahwa terdapat tiga argumentasi mengapa perlu diundangkan:
a.
perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam
pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi GBHN sebagai pedoman
penyusunan rencana pembangunan nasional;
b.
Indonesia memerlukan perencanaan
pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara
menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945;
c.
Sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ditetapkan
dengan Undang-undang.
Dalam konsiderans
mengingat huruf a di atas, lembaga yang berwenang menyusun undang-undang
menyadari sepenuhnya bahwa telah terjadi pergeseran kewenangan pada MPR. MPR
yang pada awalnya memiliki kewenangan untuk menetapkan GHBN, setelah perubahan
UUD 1945 kewenangan tersebut dihapuskan. Dengan demikian tidak ada satu lembaga
negarapun yang memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN.
Penghapusan kewenangan
MPR dalam menetapkan GBHN memang dikehendaki oleh beberapa pihak. Hal ini
tampak dari pembahasan perubahan UUD 1945. Dalam Rapat PAH I BP MPR tanggal 24
April 2001 yang dipimpin oleh Jacob Tobing, anggota Tim Ahli Affan Gafar
menyatakan bahwa GBHN adalah merupakan platform
partai yang memenangkan pemilu, yang seterusnya sangat ditentukan oleh platform calon Presiden yang memenangkan
kursi Kepresidenan.
Pendapat yang sama
dikemukan oleh anggota Tim Ahli Maswadi Rauf pada Rapat PAH I BP MPR ke-15 tanggal 15 Mei 2001.
Maswadi perpendapat bahwa kita memang beranggapan tidak perlu GBHN. Karena itu
menjadi wewenang Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga
tidak diperlukan adanya bimbingan dari MPR RI, tidak diperlukan adanya tolok
ukur dari MPR, sehingga Presiden itu nanti tidak bisa lagi dijatuhkan karena
perbedaan policy, perbedaan pendapat
dalam kebijakan antara MPR dengan Presiden.
Pendapat yang sangat
tajam dikemukakan oleh anggota Tim Ahli Ramlan Surbakti pada Rapat PAH I BP MPR ke-19 tanggal 29 Mei 2001.
Ramlan berpendapat bahwa MPR selama ini hanya bicara mengenai GBHN yang
tingkatannya tingkat cita-cita. Sedangkan kalau kita bicara undang-undang atau
APBN itu sudah jelas lebih operasional.
Dari pendapat ketiga orang
anggota Tim Ahli BP MPR di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum
penghapusan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN adalah dikehendaki oleh
beberapa pihak tertentu.
Berkaitan dengan
konsiderans menimbang huruf b, tujuan pendirian Negara Indonesia adalah
sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu:
a.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.
Memajukan kesejahteraan umum;
c.
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
d.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan pendirian negara Indonesia di atas, tentu tidak dapat
diraih seketika. Oleh karena itu diperlukan tahapan-tahapan untuk mencapainya.
Pada era pemerintahan Presiden Suharto hingga Presiden Megawati Sukarno Putri,
menggunakan GBHN sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan. Pada
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menggunakan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk
selanjutya disebut UU SPPN, sebagai dasar dalam melaksanakan pembangunan
nasional. Selanjutnya UU RPJPN 2005 - 2025 merupakan amanat UU SPPN, oleh
karena itulah UU SPPN menjadi salah satu konsiderans menimbang UU RPJPN 2005 - 2025
sebagaimana dimaksud dalam konsiderans menimbang huruf c.
III.2. Substansi Pembangunan Bidang Hukum
Dalam
UU RPJPN 2005 - 2025, penulis mencatat bahwa pembangunan bidang hukum bukanlah
mendapat prioritas utama, hal ini disebabkan oleh dua hal:
a.
Pembangunan
bidang hukum ada pada urutan ketujuh, setelah bidang pertahanan kemanan. Hal
ini menunjukkan bahwa hukum bukanlah panglima dalam pembangunan nasional;
b.
Pembangunan
bidang hukum digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat.
Menurut hemat penulis, pembangunan bidang hukum lebih luas daripada pembangunan
bidang aparatur. Pembangunan bidang hukum tidak hanya meliputi aparatur penegak
hukum, tetapi meliputi juga hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan keaadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap
hukum. Sedangkan pembangunan bidang aparatur lebih dititikberatkan pada
aparatur negara. Dengan demikian penggabungan antara pembangunan bidang hukum
digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat.
Pembentuk
UU RPJPN 2005 - 2025 beranggapan bahwa antara pembangunan bidang hukum dengan
penerapan hukum. Hal ini tampak dari bidang garapan pembangunan hukum,
meliputi:
a.
Pembangunan
substansi hukum, yang ditindaklanjuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Diharapkan dengan
diundangkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan
perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku,
dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan
perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses
pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan.
b.
Pembangunan struktur hukum,
yang meliputi pembangunan aparatur pelaksana kekuasaan kehakiman.
Lembaga-lembaga Negara yang disebut adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial, sedangkan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia,
dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebutkan.
c.
Pembangunan
budaya hukum, dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang diarahkan untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang
dicita-citakan.
Dalam
kajian teoritis, bidang garapan pembangunan hukum di atas memandang hukum
sebagai suatu sistem (legal system) yang
memiliki komponen substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
I Nyoman
Nurjaya mempertajam pendapat Lawrence M Friedman bahwa hukum sebagai suatu
sistem (legal system) dipelajari
sebagai produk budaya yang pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu:
1.
Struktur hukum (structure of
legal system) yang meliputi lembaga legislatif dan institusi penegak hukum
(polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan);
2.
Substansi hukum (substance of legal system) yang semua
produk hukum berupa peraturan perundang-undangan; dan
3.
Budaya hukum
masyarakat (legal culture) seperti
nilai-nilai, ide, persepsi, pendapat, sikap keyakinan, dan perilaku, termasuk
harapan-harapan masyarakat terhadap hukum.
Apa
yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 - 2025 bidang pembangunan hukum di atas, lebih
mengarah pada penerapan hukum. Penerapan hukum dan pembangunan hukum adalah
berbeda. Berbeda dengan pekerjaan penerapan atau pelaksanaan hukum, maka
pembangunan hukum ini menghadapkan kita kepada pemilihan-pemilihan. Hal ini
disebabkan oleh struktur kehidupan sosial kita sendiri yang tidak lagi
didasarkan pada tata nilai yang padu.
Hukum dapat berlaku secara efektif atau tidak akan sangat bergantung pada
kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) masyarakat yang
bersangkutan. Oleh
karena itu, pembangunan bidang hukum haruslah memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal
culture) yang hidup di dalam masyarakat. Tanpa memperhatikan hal-hal di
atas, pembangunan bidang hukum akan menjadi sia-sia.
IV.
PENUTUP
Uraian
pada bagian-bagian terdahulu memperlihatkan bahwa pembangunan bidang hukum yang
tertuang dalam UU RPJPN 2005 - 2025 menyamakan antara penerapan hukum dengan
pembangunan hukum yang seharusnya berbeda. Sebagai akibatnya, pembangunan
bidang hukum terbatas pada apa yang disebut oleh Lawrence M Friedman sebagai
komponen atau elemen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum.
Agar
pembangunan hukum berlaku efektif di masyarakat, pembentuk peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition),
atau budaya hukum (legal culture)
yang hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian, pembangunan bidang hukum yang
kita laksanakan akan dapat menuju cita-cita hukum nasional yang diidam-idamkan.
Pada akhirnya, tujuan pendirian negara Indonesia dapat terwujud, yaitu
tercapainya masyarakat yang adil dan makmur sejahtera.
V.
DAFTAR PUSTAKA
1. Literatur:
Lawrence
M Friedman, The Legal System A Social
Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New
York, 1975.
M
Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Kejahatan Ekonomi di
Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003.
Moh.
Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.
__________,
Pergulatan
Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.
__________,
Membangun
Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
__________,
Perdebatan
Hukum Tata Negara Pasca Amandmen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
__________, Hukum
dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di
Indonesia, Genta Publishing, Bandung, 2009.
Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku III Lembaga
Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.
2.
Makalah:
I
Nyoman Nurjaya, Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural:
Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi
Ke-2 Membangun Kembali Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat
Multikultural, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 16-19 Juli 2002
di Universitas Udayana, Bali.
3.
Peraturan
Perundang-Undangan:
Undang-Undang
dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005 – 2025
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan