Jumat, 03 Juni 2011 0 komentar

BATIK SITUBONDO

Batik adalah produk industri kerajinan yang kita punya. Batik pernah menghebohkan komunikasi antar dua bangsa serumpun, Indonesia-Malaysia. Begitu dahsyatnya batik, membuat dua negara saling adu gengsi untuk mempertahankan pengakuan masing-masing.

Perdebatan
Ketika mengantarkan terapi istri saya ke seorang teman, kami melewati sebuah pesantren yang sedang memproduksi batik. Ada yang sedang mendesign dengan cara menggambar di kain, ada yang sedang menjemur batik – tampaknya – yang sudah jadi.
Sampai di tempat terapi, kami disambut oleh istri teman saya. Ia mengatakan kalau suaminya lagi membatik di rumah seorang teman. “Tapi tidak masalah, toh yang akan menerapi istri pak Win itu saya”, begitu kata istri teman saya.
Karena merasa tidak nyaman, saya telpon teman saya. “Oke bos, biar saya pulang”, kata teman saya di seberang telpon. Tak lama, teman saya datang dengan tangan dan baju yang kotor. Ia pasti lagi bekerja, pikir saya.
Kami pun basa basi. Karena keingintahuan saya, saya bilang agar saya diajak ke tempat pembatikan. Ia setuju.
Di tempat pembatikan, teman saya begitu lancar cerita tentang proses membatik. Diawali dengan design pada kain, diberi malam – benda padat yang akan mencair bila dipanaskan, yang digunakan sebagai sarana pembatikan – sampai pewarnaan, peluruhan, dan penjemuran. Ia juga membandingkan kualitas sampai harga batik yang ada di Situbondo.
Sesampai di rumah saya merenungi pernyataan-pernyataan teman saya. Di Situbondo ada berbagai corak batik, bercorak bebas, bercorak Madura, bercorak Situbondo, dan entah bercorak apalgi saya tidak tahu.
Teman saya bilang, kita mengklaim bahwa corak batik Situbondo adalah batik yang memiliki motif kerang. Pertanyaan mendasar yang dapat kita ajukan, benarkah motif batik kerang adalah corak batik Situbondo. Mengapa di tengah alun-alun kita justru terdapat perahu layar sebagai maskot Situbondo. Mengapa tidak kerang saja yang kita jadikan maskot di tengah alun-alun kita.
Masih kata teman saya, atau kita harus berkilah, maskot Situbondo untuk batik ya kerang, sedangkan maskot Situbondo ya perahu layar. Kalau itu yang dijadikan argumentasi, mengapa di Situbondo ada patung udang di barat desa Wringinanom. Mestinya patung perahu layar juga yang harus kita bangun di sana, bukan patung udang.
Tampaknya kita harus duduk bersama – para pemangku kepentingan batik – untuk segera merumuskan corak batik Situbondo. Kita harus menggali bersama-sama, corak apa yang akan kita jadikan maskot batik Situbondo. Pemerintah Kabupaten Situbondo (PKS) kemudian menetapkannya melalui keputusan Bupati tentang batik Situbondo. Bilamana perlu, kita patenkan corak batik Situbondo.

Kebijakan dan Efek Bola Salju
PKS patut bergembira melihat geliat batik Situbondo. Ada beberapa sentra batik yang saya ketahui: di desa Selowogo, di desa Peleyan Kapongan, di desa Paowan, dan di desa Kilensari. Di luar yang saya sebutkan, saya belum tahu. Kita bayangkan satu sentra batik dapat menyerap 25 orang tenaga kerja, maka kita telah menambah jumlah tenaga kerja, yang berarti pula kita telah mengurangi jumlah angka pengangguran.
Ada baiknya PKS membuat kebijakan yang menunjang dan meningkatkan perputaran batik Situbondo. Kebijakan pertama yang perlu dibuat adalah dengan melakukan pembinaan di setiap sentra-sentra batik yang ada. Pembinaan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas batik Situbondo, yang sementara ini - tentu - relatif tidak sama antara satu sentra dengan sentra yang lain.
Kedua, PKS perlu memberikan bantuan permodalan bagi pengembangan batik Situbondo dengan cara yang mudah dan bunga rendah. Yang saya ketahui, sentra batik-sentra batik itu belum memiliki perizinan usaha, sehingga akan mengalami kesulitan bila mengajukan kredit modal ke perbankan secara langsung. Oleh karena itu, perlu intervensi PKS dalam permodalan sentra batik Situbondo melalui APBD.
Ketiga, PKS perlu memberikan proteksi terhadap sentra-sentra batik Situbondo. Artinya, seluruh SKPD maupun sekolah yang mempergunakan batik sebagai uniform, harus memesan ke sentra batik Situbondo. Sentra batik mana tempat memesan, itu masalah teknis yang mudah diatur.
Dengan tiga kebijakan di atas, maka PKS akan menggerakkan sektor ekonomi kerakyatan dan mengurangi angka pengangguran terbuka. Semakin kuat sentra batik Situbondo maka akan semakin besar gerakan ekonomi kerakyatan dan semakin banyak mengurangi angka pengangguran terbuka.

Penutup
Batik Situbondo merupakan kekayaan kita. Kita sendiri yang harus menjaga dan mengembangkannya. Kalau bukan kita, siapa lagi. Ya nggak ….
Selasa, 03 Mei 2011 1 komentar

PEMERINTAHAN DAERAH = Bupati + DPRD

Oleh: Winasis Yulianto*

Rabu, tanggal 27 April 2011 saya ditugasi pimpinan untuk menghadiri sebuah rapat akademik ke luar kota. Sehabis sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan. Handphone saya berbunyi. Di seberang terdengar suara pimpinan saya, “Have you read Radar Banyuwangi today”. Aku jawab, “Not yet, Sir. I’m on the the way to ……. ”.
Pimpinan saya kemudian bercerita kalau kawan-kawan di DPRD menduga naskah akademik Raperda Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah copy-paste dari daerah lain. Saya kontak sana sini, yang kemudian memperoleh email naskah akademik yang diduga copy-paste itu.
Dari email itu, saya pahami kawan-kawan DPRD membaca betul-betul naskah akademik. Ada kalimat “DKI Jakarta” dalam naskah akademik itu, sehingga menduga naskah akademik itu copy-paste dari daerah lain. Padahal kalimat “DKI Jakarta” itu berasal dari bunyi peraturan perundang-undangan.
Saya tiba-tiba sedih dan takut. Kesedihan yang saya pikirkan, pasti akan menimbulkan reaksi dari pemerintah kabupaten. Sedangkan ketakutan saya bersumber akan menimbulkan suasana komunikasi yang kembali menghangat antara pemerintah kabupaten dengan DPRD. Padahal suasana baru saja cair setelah pembahasan APBD 2011 yang begitu alot dan panjang.
Apa yang saya sedihkan dan takutkan terbaca di Radar Banyuwangi, Senin 2 Mei 2011. Satu berita berjudul “Pernyataan Ketua DPRD Tidak Berdasar”, ini merupakan cerminan kesedihan saya, walaupun saya sangat memahami pernyataan Wakil Bupati. Dan itu sebuah pernyataan yang logis dan harus dilakukan seorang pemimpin untuk mempertanggungjawabkan tugasnya ke masyarakat Situbondo.
Judul yang lain, “APBD Belum Pro Rakyat Kecil” merupakan cerminan kesedihan saya. Koordinator Divisi Resources Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Jatim menyatakan bahwa “Belanja langsung 37,7 persen, belanja publik hanya 15,8 persen”. Mudah-mudahan apa yang di-press-release-kan oleh Fitra benar-benar untuk kepentingan Kabupaten Situbondo, bukan untuk kepentingan lain atau hidden agenda.

Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya memberikan definisi yang jelas siapa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah (Pemda). Pemda adalah Bupati dan DPRD. Jadi kepada dua institusi inilah masyarakat menaruhkan harapan agar kehidupannya menjadi lebih baik. Hidup menjadi lebih sejahtera, makmur dan wong cilik iso gumuyu.
Bupati dan DPRD harus bergandengan tangan, duduk bersama dan bahu membahu guna meningkatkan daya beli masyarakat. Angka kemiskinan turun, indeks pembangunan manusia naik dan derajat kesehatan masyarakat meningkat. Itu harapan masyarakat, tidak muluk-muluk bisa beli mobil atau barang mewah lainnya.
Kalau keinginan masyarakat itu terpenuhi, maka yang mendapat acungan jempol tidak hanya Bupati, tetapi DPRD akan mendapat pujian serupa. Ada kepuasan batin yang akan kita raih, ternyata tugas yang diembankan kepada kita memperoleh pengakuan dari masyarakat. Catatan emas sudah kita torehkan dalam sejarah hidup, yang akan dibaca anak-cucu kita nantinya.
Penutup
Kepada siapakah masyarakat harus menaruhkan harapan kalau tidak kepada panjenengan berdua, Bupati dan DPRD. Bekerjalah lebih giat, sehingga kehidupan masyarakat Situbondo menjadi lebih sejahtera. Hanya itu, tak lebih. Dan wong cilik iso gumuyu.
Senin, 02 Mei 2011 0 komentar

LEGISLATIF MENJADI EKSKUTIF?

Oleh: Winasis Yulianto*

Mudah-mudahan koran Radar Banyuwangi yang berjudul “Usulan Proyek DPRD Capai Rp 7,8 M” (Kamis, 10/2/2011) tidak benar. Kalau berita yang ditulis Radar Banyuwangi benar, betapa kita sudah tidak tahu lagi tugas dan fungsi antara legislatif dan ekskutif. Kegiatan proyek adalah kegiatan ekskutif, bukan kegiatan legislatif. Menyitir lagunya group band Armada, “Mau dibawa kemana hubungan kita”.
Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan soal RAPBD 2011, tetapi ingin mendudukkan posisi semula tugas dan fungsi masing-masing lembaga yang ada. Kita harus introspeksi diri, berkontemplasi, apakah tugas dan fungsi kita sudah kita laksanakan dengan seoptimal mungkin. Bukan kemudian kita justru terlibat dalam tugas dan fungsi lembaga lain, sementara kita masih punya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan.

Legislatif
Dari literatur yang saya baca, lembaga legislatif merupakan lembaga yang terhormat. Kawan-kawan yang duduk di lembaga itu juga orang-orang pilihan dan harus memiliki kualifikasi hebat. Karena itu, kawan-kawan yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang mumpuni, bukan orang sembarang.
Kawan-kawan yang duduk di legislatif sangat memahami apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Saya hanya mengingatkan kembali bahwa tugas dan fungsi legislatif adalah legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling). Ketiganya harus diperankan secara maksimal.
Legislasi adalah kewenangan untuk membuat peraturan, dalam konteks daerah adalah membuat peraturan daerah (perda) bersama-sama dengan ekskutif. Apapun substansi perda yang akan diatur harus dilakukan pembahasan dengan legislatif, termasuk perda tentang APBD.
Menyoal perda tentang APBD, berarti sekaligus peran legislatif dalam fungsi anggaran. Anggaran yang tertuang dalam APBD haruslah mengacu dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di atasnya. Tentu kita tidak mengharapkan ada persoalan hukum di kemudian hari bilamana kita paksakan penganggaran satu atau beberapa kegiatan yang melampaui angggaran yang telah diatur perundang-undangan di atasnya.
Fungsi pengawasan meliputi pengawasan kegiatan yang dilaksanakan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif. Legislatif dapat memanggil ekskutif untuk memberikan penjelasan terhadap kegiatan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif.
Pakem legislatif jelas pada tiga ruang ini. Jangan sampai legislatif keluar dari pakem perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Proyek
Proyek merupakan wilayah dan ruang ekskutif. Di situlah ekskutif memang dan seharusnya bekerja. Proyek merupakan sarana ekskutif untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukankan salah satu tujuan pendirian Negara ini adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa?
Dengan argumentasi apapun, legislatif tidak elok memasuki wilayah dan ruang ekskutif. Saya tidak sependapat dengan sumber di DPRD yang menyatakan “sebagian besar angggota DPRD mengajukan proyek fisik melalui revisi KUA-PPAS”, sekalipun dengan argumentasi “anggota DPRD (selain FKNU dan FKN) merasa konstituen mereka tidak diperhatikan karena minim sekali proyek yang ditempatkan di tempat mereka”. (Radar Banyuwangi, 10/2/2011). Apalagi angkanya mencapai 7,8 M., sebuah angka fantastis untuk sekelas kita di Kabupaten Situbondo.
Kalau asumsi “minim proyek yang ditempatkan di tempat mereka” benar, bawa saja hasil jaring aspirasi masyarakat tersebut ke musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di beberapa level tingkatan. Musrenbang dilaksanakan pada level desa/kelurahan, kecamatan dan kabuupaten. Perjuangan yang dapat dilakukan oleh kawan-kawan legislatif sebatas memasukkan proyek yang diharapkan menjadi prioritas pembangunan. Biarkan ekskutiflah yang memutuskan, apakah proyek yang diharapkan tercantum dalam RAPBD atau tidak.
Toh, masyarakatlah nanti yang akan memberikan penilaian. Bukankah suara rakyat suara Tuhan, vox Populi vox Dei.

Penutup
Mudah-mudahan paradigma legislatif menjadi ekskutif tidak akan pernah terjadi. Legislatif dan ekskutif sudah memiliki ruang dan wilayah bekerja masing-masing yang diatur dengan perundang-undangan. Mari kita bekerja di ruang dan wilayah kita. Dan itu, akan menjadi catatan sejarah kita bersama. Gusti Allah ora sare.
0 komentar

LEGISLATIF MENJADI EKSKUTIF?

Oleh: Winasis Yulianto*

Mudah-mudahan koran Radar Banyuwangi yang berjudul “Usulan Proyek DPRD Capai Rp 7,8 M” (Kamis, 10/2/2011) tidak benar. Kalau berita yang ditulis Radar Banyuwangi benar, betapa kita sudah tidak tahu lagi tugas dan fungsi antara legislatif dan ekskutif. Kegiatan proyek adalah kegiatan ekskutif, bukan kegiatan legislatif. Menyitir lagunya group band Armada, “Mau dibawa kemana hubungan kita”.
Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan soal RAPBD 2011, tetapi ingin mendudukkan posisi semula tugas dan fungsi masing-masing lembaga yang ada. Kita harus introspeksi diri, berkontemplasi, apakah tugas dan fungsi kita sudah kita laksanakan dengan seoptimal mungkin. Bukan kemudian kita justru terlibat dalam tugas dan fungsi lembaga lain, sementara kita masih punya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan.

Legislatif
Dari literatur yang saya baca, lembaga legislatif merupakan lembaga yang terhormat. Kawan-kawan yang duduk di lembaga itu juga orang-orang pilihan dan harus memiliki kualifikasi hebat. Karena itu, kawan-kawan yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang mumpuni, bukan orang sembarang.
Kawan-kawan yang duduk di legislatif sangat memahami apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Saya hanya mengingatkan kembali bahwa tugas dan fungsi legislatif adalah legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling). Ketiganya harus diperankan secara maksimal.
Legislasi adalah kewenangan untuk membuat peraturan, dalam konteks daerah adalah membuat peraturan daerah (perda) bersama-sama dengan ekskutif. Apapun substansi perda yang akan diatur harus dilakukan pembahasan dengan legislatif, termasuk perda tentang APBD.
Menyoal perda tentang APBD, berarti sekaligus peran legislatif dalam fungsi anggaran. Anggaran yang tertuang dalam APBD haruslah mengacu dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di atasnya. Tentu kita tidak mengharapkan ada persoalan hukum di kemudian hari bilamana kita paksakan penganggaran satu atau beberapa kegiatan yang melampaui angggaran yang telah diatur perundang-undangan di atasnya.
Fungsi pengawasan meliputi pengawasan kegiatan yang dilaksanakan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif. Legislatif dapat memanggil ekskutif untuk memberikan penjelasan terhadap kegiatan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif.
Pakem legislatif jelas pada tiga ruang ini. Jangan sampai legislatif keluar dari pakem perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Proyek
Proyek merupakan wilayah dan ruang ekskutif. Di situlah ekskutif memang dan seharusnya bekerja. Proyek merupakan sarana ekskutif untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukankan salah satu tujuan pendirian Negara ini adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa?
Dengan argumentasi apapun, legislatif tidak elok memasuki wilayah dan ruang ekskutif. Saya tidak sependapat dengan sumber di DPRD yang menyatakan “sebagian besar angggota DPRD mengajukan proyek fisik melalui revisi KUA-PPAS”, sekalipun dengan argumentasi “anggota DPRD (selain FKNU dan FKN) merasa konstituen mereka tidak diperhatikan karena minim sekali proyek yang ditempatkan di tempat mereka”. (Radar Banyuwangi, 10/2/2011). Apalagi angkanya mencapai 7,8 M., sebuah angka fantastis untuk sekelas kita di Kabupaten Situbondo.
Kalau asumsi “minim proyek yang ditempatkan di tempat mereka” benar, bawa saja hasil jaring aspirasi masyarakat tersebut ke musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di beberapa level tingkatan. Musrenbang dilaksanakan pada level desa/kelurahan, kecamatan dan kabuupaten. Perjuangan yang dapat dilakukan oleh kawan-kawan legislatif sebatas memasukkan proyek yang diharapkan menjadi prioritas pembangunan. Biarkan ekskutiflah yang memutuskan, apakah proyek yang diharapkan tercantum dalam RAPBD atau tidak.
Toh, masyarakatlah nanti yang akan memberikan penilaian. Bukankah suara rakyat suara Tuhan, vox Populi vox Dei.

Penutup
Mudah-mudahan paradigma legislatif menjadi ekskutif tidak akan pernah terjadi. Legislatif dan ekskutif sudah memiliki ruang dan wilayah bekerja masing-masing yang diatur dengan perundang-undangan. Mari kita bekerja di ruang dan wilayah kita. Dan itu, akan menjadi catatan sejarah kita bersama. Gusti Allah ora sare.

Jumat, 07 Januari 2011 0 komentar

INI SITUBONDOKU, SITUBONDOMU DAN SITUBONDO KITA

INI SITUBONDOKU, SITUBONDOMU DAN SITUBONDO KITA

Oleh: Winasis Yulianto*

Hari-hari terakhir menjelang pergantian tahun 2010 ke 2011, saya sering kali gelisah, kegelisahan seorang intelektual dalam keinginan berpartisipasi mengisi local content. Berita yang saya tunggu-tunggu di media massa maupun media elektronik, sampai sekarang, belum ada. Mudah-mudahan saya tidak ketinggalan informasi. Berita yang saya tunggu itu adalah berita persetujuan DPRD tentang RAPBD 2011. Padahal sekarang sudah masuk minggu pertama tahun 2011, berarti kita sudah memasuki zona terlambat dalam penetapan RAPBD 2011.

Saya tidak tahu pasti letak titik di mana keterlambatan itu berada. Tulisan ini tentu saja tidak bermaksud menarik benang merah siapa yang salah dalam keterlambatan persetujuan RAPBD 2011. Tulisan ini hendak mengajak kita untuk berkontemplasi dan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Ini Situbondoku, Situbondomu dan Situbondo kita.

Komunikasi

Komunikasi merupakan hal terpenting dalam pembahasan RAPBD. Saya tidak memiliki informasi yang cukup berkaitan dengan komunikasi antara pemerintah kabupaten dengan DPRD. Indikasi belum selesainya pembahasan RAPBD 2011 menunjukkan adanya komunikasi yang tidak lancar di antara dua lembaga tersebut. Komunikasi harus dilakukan lebih intens untuk mengejar ketertinggalan kita yang sudah terlambat.

Mari kita berpikir dengan cakrawala yang lebih luas. Ini Situbondo kita, kita sendiri yang harus membangun, bukan orang lain. Mari kita abaikan uniform partai. Sekarang bukan masanya untuk melihat aku dari partai anu, kamu dari partai anu. Yang perlu kita lakukan adalah, aku bisa apa dan kamu bisa apa dengan kapasitasku dan kapasitasmu. Kita fokuskan pikiran dan tenaga kita untuk membangun Situbondo. Soal uniform partai, nanti kalau bertemu lagi dalam pemilu legislatif dan pemilukada.

Uniform yang harus kita pakai adalah uniform Situbondo. Kalau kita masih terkungkung dalam ego partai, pembangunan yang akan kita laksanakan akan terseok-seok bahkan stagnan sama sekali. Tentu kita tidak berharap itu terjadi. Logika sederhana kita, kalau itu terjadi, masyarakat Situbondo secara keseluruhan yang akan menanggung akibatnya.

Karena itu, mari kita buka kembali komunikasi kita lebih intents, lebih sering, agar kita segera menyelesaikan salah satu tugas kita – menyelesaikan RAPBD 2011. Dengan bantuan teknologi, komunikasi toh tidak harus bertemu secara fisik, tetapi bisa menggunakan alat komunikasi di manapun kita berada. Dus, jadual kita masing-masing tidak akan terganggu. Tidak ada lagi alasan, “saya sedang ada tempat lain, karena itu pembahasan harus menunggu kedatangan saya”.

Efek Domino

Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011 menetapkan bahwa RAPBD 2011 sudah harus mendapat persetujuan DPRD paling lambat 31 Desember 2010. Permendagri di atas juga mengatur dampak bilamana terjadi keterlambatan, maka kita diminta untuk menggunakan anggaran 2011 dengan plafon tidak boleh melebihi anggaran 2010.

Saya melihat ada efek domino bilamana kita harus menggunakan plafon anggaran 2010. Pertama, dari sisi pemerintah kabupaten. Pemerintah kabupaten tentu tidak akan dapat melaksanakan program yang telah disiapkan di tahun 2011 karena keterbatasan anggaran. Program yang merupakan breakdown dari visi dan misi pada saat kampanye tidak akan dapat dilaksanakan, minimal tahun 2011 ini. Ini berarti, pembangunan yang kita harapkan akan lewat begitu saja. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui APBD masih harus kita tunda dulu.

Kedua, dari sisi DPRD. DPRD tidak akan bisa berharap banyak untuk meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya karena keterbatasan anggaran. Otomatis, kegiatan DPRD dalam melaksanakan tugas dan fungsi budgeting, legislasi dan pengawasan tidak akan jauh berbeda dengan kinerja tahun 2010.

Walaupun saya sampai hari ini belum menemukan argumentasi hukumnya, keterlambatan dalam menyusun RAPBD akan menjadi catatan Pemerintah (Pusat). DAK dan DAU akan dikurangi untuk tahun anggaran berikutnya. Efek dominonya, tentu akan ada program yang harus dipangkas karena keterbatasan anggaran.

Anggaran belanja pegawai tidak mungkin untuk dipangkas. Otomatis, sektor pelayanan yang bersinggungan dengan masyarakatlah yang akan menjadi “korban” pemangkasan. Tentu akan sangat merugikan masyarakat. Dengan menggunakan nurani, kita semua tidak ingin hal ini terjadi.

What’s next

Bagi saya, tidak ada pilihan lain, kita harus segera menyelesaikan pembahasan RAPBD 2011. Komitmen itu yang pertama-tama harus kita pegang. Urusan lain-lain bisa kita komunikasikan sambil berjalan.

Ini Situbondoku, Situbondomu dan Situbondo kita. Mengapa kita tidak berbuat yang terbaik untuk Situbondo, senyampang kita masih bisa.

Jadi, izinkan saya menunggu berita media massa dan media elektronik “DPRD Menyetujui RAPBD Tahun Anggaran 2011”.



* Winasis Yulianto, Wakil Direktur LPBH NU Situbondo. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan pendapat LPBH NU Situbondo

Jumat, 03 Desember 2010 0 komentar

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DI DAERAH DAN IMPLEMENTASINYA DI KABUPATEN SITUBONDO

Oleh:

Winasis Yulianto, SH., M.Hum*

 

1.      Pendahuluan

Sebagaimana kita ketahui bersama, wilayah suatu negara terdiri dari wilayah darat, udara dan laut. Namun demikian, tidak setiap negara nemiliki wilayah laut. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki ketiga bentuk wilayah di atas.

Berdasarkan perhitungan kasar, yang cara penetapan batas perairan Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960,[1] Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa luas wilayah Indonesia adalah 5.193.250 km², terdiri dari 2.027.087 km² berupa daratan dan 3.166.163 km² berupa lautan.[2] Dengan demikian, luas perairan Indonesia kira-kira 1½ lebih luas dari seluruh jumlah luas wilayah daratan.[3]

Dengan berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations on the Law of the Sea), maka secara otomatis luas wilayah laut Indonesia semakin luas. Hal ini didasari pemikiran bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan bahwa negara pantai berhak atas Zona Ekonomi Eksklusif sampai sejauh 200 mil laut.[4]

Menyadari begitu luasnya wilayah perairan, pemerintah Indonesia berinisitif untuk memberikan sebagian pengelolaan wilayah perairan ke pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten atau kota. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyatakan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.

Politik hukum[5] pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada daerah ini membawa dampak yang luar biasa, karena aparat pemerintah di daerah ataupun masyarakat nelayan beranggapan bahwa nelayan dari daerah lain tidak lagi diijinkan memasuki perairan mereka. Bahkan kemudian muncul istilah dengan apa yang disebut “kapling laut”. Dampak lebih lanjut dari pengaturan ini adalah adanya konflik nelayan dari berbagai daerah karena memperebutkan wilayah tangkapan.

 

2.      Permasalahan

Penulisan ini akan mengangkat permasalahan sentral tentang politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah. Dari permasalahan sentral tersebut akan diurai menjadi permasalahan:

a.            Apakah dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah?

b.           Bagaimana jalan keluar yang harus diambil bilamana politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah membawa dampak negatif?

c.            Dalam skala lokal, apakah Kabupaten Situbondo telah mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut?

Penulisan ini menggunakan pendekatan fungsional hukum, dimana pada saat memerlukan pendekatan hukum normatif, maka pendekatan akan dilakukan dengan hukum normatif. Sebaliknya, bilamana diperlukan pendekatan hukum empiris, maka pendekatan akan dilakukan dengan menggunakan hukum empiris.

 

3.      Tujuan

Tujuan penulisan ini terbagi menjadi 2 (dua), yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan untuk memberikan masukan kepada penentu kebijakan terhadap fakta di lapangan, sekaligus diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan yang akan diambil.

Tujuan khusus diarahkan untuk:

a.              Mengetahui lebih mendalam apakah dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah;

b.             Bagaimana jalan keluar yang harus diambil bilamana politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah membawa dampak negatif?

c.              Dalam skala lokal, apakah Kabupaten Situbondo telah mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut?

 

4.      Pembahasan

4.a. Dampak Pengaturan Pengelolaan Wilayah Laut di Daerah

Dalam memberikan pengaturan pengelolaan wilayah laut di daerah, UU Pemda menetapkan adanya perbedaan mendasar antara propinsi dengan kabupaten/kota. UU Pemda menetapkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut untuk provinsi sejauh 12 (duabelas) mil laut, sedangkan kabupaten/kota sejauh 1/3 (sepertiga) kewenangan provinsi atau 4 (empat) mil laut.[6]

Pemberian kewenangan oleh UU Pemda tersebut menimbulkan pemahaman di kalangan masyarakat nelayan bahwa nelayan dari luar daerah tidak diperkenankan memasuki wilayah mereka. Hal ini seperti yang dikatakan Sudirman Saad, “Namun, batasan ini sering diartikan oleh nelayan sebagai batasan yang mengikat, sehingga nelayan dari wilayah lain di sebelahnya tidak boleh masuk ke wilayah mereka”.[7]

Bahkan Johannes Hutabarat mengatakan bahwa undang-undang otonomi daerah memunculkan persepsi keliru. Berbagai daerah mengklaim wilayah laut sebagai daerah miliknya.[8]

Akibat lebih lanjut dari ketidakjelasan pengaturan tersebut mengakibatkan terjadinya konflik antarnelayan. Yang sering menjadi penyebab terjadinya konflik antarnelayan tersebut adalah perebutan area melaut. Data berikut ini menunjukkan bahwa konflik antarnelayan seringkali terjadi.

Tabel 1: Kasus-Kasus Perebutan Area Melaut di Indonesia

No.

Tanggal

Lokasi

Yang terlibat

Kerugian

1.

Oktober 2003

Perairan Jawal-Pemangkat, Sambas, Kalbar

Nelayan Jawal dan Pemangkat

Satu kapal disandera. Jalur transportasi Jawal-Pemangkat ditutup

2.

April 2005

Perairan Bantan, Bengkalis, Riau

Nelayan Bantan dengan nelayan kapal pukat harimau

Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar. Kerugian mencapai Rp. 3 miliar

3.

Mei 2005

Perairan Bantan, Bengkalis, Riau

Nelayan Bantan dengan nelayan pendatang asal Rangsang

Sembilan kapal nelayan pukat harimau dibakar

4.

Mei 2005

Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat

Nelayan dan warga di sekitar Perairan Selatan Daya, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan kapal pencuri ikan dari Alor, NTT.

-

5.

Mei 2005

Perairan Kaltim dan Kalsel

Nelayan Pekalongan dan Pati, Jateng dengan nelayan Kalsel.

-

Sumber: Kompas, Kamis 30 Juni 2005

 

Menurut penulis, anggapan nelayan tersebut tidak seluruhnya dapat dipersalahkan. Penulis berpendapat bahwa ada 2 (dua) faktor penyebab pandangan nelayan tersebut:

a.            UU Pemda tidak memberikan penjelasan secara rinci makna pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah. Penjelasan Pasal 18 UU Pemda hampir semuanya mengatakan cukup jelas, padahal ketentuan ini memerlukan penjelasan yang rinci sehingga tidak menimbulkan multitafsir;

b.           Kurangnya sosialisasi terhadap ketentuan pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah.

Penegasan terhadap pemberian kewenangan pengelolaan sumber daya wilayah laut kepada daerah datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Wakil Presiden, nelayan dari semua daerah bebas menangkap ikan di manapun dalam wilayah Indonesia. Konflik antar nelayan tidak perlu terjadi bila memahami, kekayaan laut sesungguhnya ditujukan untuk kesejahteraan nelayan itu sendiri”.[9]

Pemikiran yang hampir sama juga diajukan oleh Johannes Hutabarat. Johannes Hutabarat berpendapat bahwa konflik sebenarnya tidak perlu ada jika setiap nelayan sadar bahwa wilayah penangkapan ikan tidak dapat dipeta-petakan.[10]

Penegasan Wakil Presiden maupun pandangan Johannes Hutabarat tersebut memiliki nilai strategis, karena secara tidak langsung telah memberikan tafsir terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (4) UU Pemda. Dengan demikian, nelayan dapat menangkap ikan hingga ke luar daerah tempat tinggalnya tanpa adanya ketakutan terjadi konflik antarnelayan.

 

4.b. Langkah-Langkah Antisipatif

Guna menekan terjadinya konflik antarnelayan, maka diperlukan langkah-langkah antisipatif. Secara garis besar, langkah-langkah tersebut terdiri dari dua hal. Pertama, adalah berkaitan dengan pembangunan perangkat hukum. Pemerintah tampaknya perlu segera memberikan penafsiran secara tekstual dalam peraturan perundang-undangan terhadap ketentuan Pasal 18 UU Pemda. Hal ini penting, mengingat begitu maraknya konflik antarnelayan.[11]

Perangkat hukum yang dimaksud adalah perangkat hukum baik dalam skala nasional maupun lokal. Dalam skala nasional, pemerintah perlu menetapkan ketentuan bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya di laut tidak berarti bahwa laut menjadi dipeta-petakan. Nelayan dari manapun sepanjang nelayan Indonesia, dapat mencari ikan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam skala lokal, daerah perlu menyusun peraturan daerah (perda) yang memperkuat ketentuan nasional.

Aspek lain yang perlu dilakukan terhadap pembangunan perangkat hukum adalah penegakan hukum. Pasal 18 ayat (3) huruf d memberikan kesempatan kepada daerah untuk melakukan penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah. Makna dari ketentuan ini adalah memberikan kesempatan kepada daerah untuk menetapkan perda yang berkaitan dengan pemberian kewenangan untuk mengelola sumber daya di laut. Agar perda tersebut berlaku efektif, sebaiknya didahului dengan perda di tingkat provinsi. Selanjutnya baru ditindaklanjuti dengan perda di tingkat kabupaten/kota.

Penegakan hukum akan lebih berjalan efektif dengan melakukan koordinasi antar dinas dan instansi terkait. Bahkan Kusnadi mengusulkan dengan jalan meningkatkan koordinasi dan menyamakan visi dalam membangun sektor kemaritiman daerah.[12]

Kedua, adalah dengan melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir. Pemberdayaan masyarakat ini sangat diperlukan guna meningkatkan daya saing masyarakat nelayan. Menurut Arif Satria, diperlukan sejumlah agenda guna pemberdayaan masyarakat nelayan ini:[13]

a.          Terus mengupayakan tersedianya skim kredit lunak dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas nelayan sehingga nelayan mampu menjadi “tuan rumah” di lautnya sendiri;

b.         Memacu peningkatan kualitas SDM nelayan, tidak semata pengetahuan, tetapi juga ketrampilan serta kesehatan, baik fisik maupun mental;

c.          Mengembangkan institusi ekonomi di masyarakat pesisir untuk menciptakan ketahanan ekonomi menghadapi dinamika perubahan luar;

d.         Memperkuat jaringan nelayan, yaitu intra-community, inter-community dan supra-community.

e.          Pemerintah mesti memberikan perlindungan hukum kepada nelayan yang selama ini dirugikan dalam berbagai kasus;

f.           Berbagai program pemberdayaan masyarakat nelayan perlu dilengkapi indikator keberhasilan.

Dari agenda pemberdayaan masyarakat pesisir di atas, maka diperlukan kerja sama lintas sektoral maupun lintas daerah. Tanpa kesungguhan dan keterpaduan semua pihak, tentu pemberdayaan masyarakat pesisir ini tidak akan tercapai.

 

4.c. Implementasi di Kabupaten Situbondo

Kabupaten Situbondo merupakan sebuah kabupaten dengan panjang pantai sekitar 150 km. Bilamana dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU Pemda, dimana Kabupaten Situbondo memiliki kewenangan pengelolaan sumber daya laut sampai dengan 4 (empat) mil laut, maka Kabupaten Situbondo memiliki luas wilayah laut sebanyak 960 km². Dengan luas wilayah laut yang begitu besar, seharusnya Kabupaten Situbondo mampu memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor kelautan dan perikanan yang besar.

Namun demikian ternyata Kabupaten Situbondo belum mampu memberi masukan berupa PAD yang sepadan bila dibandingkan dengan belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo yang harus dibebankan kepada APBD. Tabel berikut memaparkan ketidakseimbangan antara pendapatan dan belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo:

 

Tabel 2: Pendapatan dan Belanja

Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo

(dalam Rp.)

 

No.

Uraian

Pendapatan

Belanja

1.

APBD 2005

37.925.000,00

3.287.581.100,32

2.

PAPBD 2005

37.925.000,00

4.420.202.518,32

3.

APBD 2006

37.925.000,00

7.056.065.175,49

4.

PAPBD 2006

37.925.000,00

7.130.347.545,39

5.

APBD 2007

37.925.000,00

5.164.947.577,72

Sumber: Data Olahan

 

Keterangan:

1. APBD          : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

2. PAPBD        : Perubahan Anggaran dan Pendapatan Belanja

                          Daerah

 

            Bila kita perhatikan paparan data di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa belanja Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Situbondo relatif naik dari tahun ke tahun, kecuali tahun 2007.  Yang menjadi pertanyaan kemudian, pada pendapatan ternyata dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 tetap sama. Namun bila kita bandingkan dengan produksi ikan pada tahun 2003 dan 2004 mengalami kecenderungan meningkat. Pada tahun 2003 produksi ikan sebanyak 7.653,4 ton dengan nilai Rp. 25.544.550.000,- sedangkan tahun 2004 produksi ikan sebanyak 8.556 ton dengan nilai Rp. 29.703.930.000.[14]

            Bilamana kita memperhatikan kecenderungan produksi ikan yang meningkat, seharusnya pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Situbondo juga mengalami peningkatan. Namun berdasarkan fakta yang ada, pendapatan dari sektor perikanan dan kelautan di Kabupaten Situbondo relatif tetap.

            Penulis berpendapat bahwa perolehan PAD dari sektor perikanan dan kelautan berasal dari retribusi yang dipungut dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Prakteknya, pemungutan retribusi tersebut tidak dapat dijalankan karena perda tentang retribusi tidak berjalan secara efektif. Kondisi ini lebih diperparah oleh tidak berperannya aparat penarik retribusi di TPI.

            Aspek lain yang mempengaruhi kecilnya PAD Kabupaten Situbondo dari sektor perikanan dan kelautan adalah adanya jual beli hasil penangkapan ikan di tengah laut. Dengan demikian, hasil tangkapan ikan tidak dibawa ke TPI, yang berarti mengurangi produksi ikan di TPI yang berakibat mengurangi retribusi yang masuk ke PAD.

            Hambatan lain yang dihadapi Kabupaten Situbondo adalah hasil tangkapan ikan dibawa ke pantai tetapi tidak  dimasukkan ke TPI. Jual beli antara nelayan dan pembeli dilakukan di luar are TPI. Sebagai akibatnya, mengurangi produksi ikan di TPI yang berakibat mengurangi retribusi yang masuk ke PAD.

 

5.      Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

a.       Dampak dari politik hukum pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut di daerah adalah munculnya konflik antarnelayan dalam memperebutkan wilayah peangkapan ikan;

b.      Jalan keluar yang harus diambil terhadap dampak negatif di atas, pemerintah harus menyusun perangkat hukum yang mampu memberi tafsir Pasal 18 UU Pemda;

c.       Dalam skala lokal, Kabupaten Situbondo belum mampu mengimplementasikan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan wilayah laut. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya PAD Kabupaten Situbondo dari sektor perikanan dan kelautan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

a.       Pemerintah harus secepatnya menyusun perangkat hukum yang mampu memberikan tafsir Pasal 18 UU Pemda dan yang mampu memberikan perlindungan kepada nelayan;

b.       Perlu meningkatkan koordinasi dan penyamaan persepsi tentang pembangunan kemaritiman di daerah serta menyusun program yang memberdayakan masyarakat nelayan;

c.       Kabupaten Situbondo perlu segera menyusun perda yang lebih efektif dalam mengimplementasikan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumber daya di laut.

 

 

6.      Daftar Pustaka

 

Literatur:

 

Arif Satria, Menanti Gebrakan Kelautan ala SBY, Harian Kompas Senin 6 Desember 2004.

Departemen Pertahanan Keamanan Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut, Himpunan Prasaran Lokakarya II Pengimplementasian Wawasan Nusantara, Buku III, Jakarta, 1980.

Mahfud MD, Politilk Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986

 

Perundang-undangan:

Konvensi Hukum Laut 1982.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

 

Website:

 

www.kompas.co.id., Lamongan, Gresik, dan Madura Rawan Konflik Nelayan, Sabtu, 10 Agustus 2002.

www.kompas.co.id., Perlu Ada Perda untuk Atasi Konflik Nelayan di Jawa Timur, Rabu 16 April 2003.

www.kompas.co.id., Konflik Nelayan Wapres: Nelayan Bebas Menangkap Ikan, Sabtu, 8 April 2006.

 

Media Massa:

Duta Masyarakat, 4 Nelayan Kisik Luka Berat, Jumat 13 Mei 2005.

Kompas, Nelayan Jateng Terancam di Kalsel, Sabtu 21 Mei 2005.

Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005

Duta Masyarakat, Nelayan Bentrok di Selat Bali, Kamis 4 Agustus 2005.



[1] Ketentuan ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan telah diundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dimuat pada Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647.

[2] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, h. 195.

[3] Departemen Pertahanan Keamanan Panitia Koordinasi Penyelesaian Masalah Wilayah Nasional dan Dasar Laut, Himpunan Prasaran Lokakarya II Pengimplementasian Wawasan Nusantara, Buku III, Jakarta, 1980, h. 65.

[4] Vide Pasal 57 Konvensi Hukum Laut 1982.

[5] Politik hukum secara sederhana dpat diruuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Lihat Mahfud MD, Politilk Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1.

[6] Vide Pasal 18 ayat (4) UU Pemda.

[7] www.kompas.co.id., Lamongan, Gresik, dan Madura Rawan Konflik Nelayan, Sabtu, 10 Agustus 2002.

[8] Harian Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005.

[9] www.kompas.co.id., Konflik Nelayan Wapres: Nelayan Bebas Menangkap Ikan, Sabtu, 8 April 2006.

[10] Harian Kompas, Terus Ada Konflik Antarnelayan, Kamis 30 Juni 2005.

[11] Vide Harian Duta Masyarakat, 4 Nelayan Kisik Luka Berat, Jumat 13 Mei 2005. Harian Duta Masyarakat, Bentrok di Laut, Diselesaikan Secara Hukum, Jumat 13 Mei 2005. Harian Kompas, Nelayan Jateng Terancam di Kalsel, Sabtu 21 Mei 2005. Harian Kompas, Masih Terancam di Kalsel. Nelayan Demo ke Jakarta, Selasa 14 Juni 2005. Harian Duta Masyarakat, Nelayan Bentrok di Selat Bali, Kamis 4 Agustus 2005.

[12] www.kompas.co.id., Perlu Ada Perda untuk Atasi Konflik Nelayan di Jawa Timur, Rabu 16 April 2003.

[13] Arif Satria, Menanti Gebrakan Kelautan ala SBY, Harian Kompas Senin 6 Desember 2004.

[14] Data ini diolah dari Situbondo dalam Angka Tahun 2004, hal. 245.



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Tetap dan Lektor Kepala mata kuliah Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.

 
;