Senin, 27 Agustus 2012 1 komentar

POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL




I.            PENDAHULUAN
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945, membawa implikasi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga-lembaga tinggi Negara baru (Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah) serta menghapus Dewan Pertimbangan Agung. Perubahan UUD 1945 juga memangkas kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, untuk selanjutnya disebut MPR. Pada masa sebelum Perubahan UUD 1945, MPR memiliki kewenangan untuk:
a.       Menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.
b.      Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Sesudah Perubahan UUD 1945, kewenangan MPR meliputi:[1]
a.       Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b.      Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c.       Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Implikasi lebih lanjut pemangkasan kewenangan MPR di atas, program pembangunan yang pada awalnya tertuang dalam garis-garis besar daripada haluan Negara tidak memperoleh tempat. Sebagai terobosan hukum, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutnya disebut UU SPPN. Sebagai tindak lanjut dari UU SPPN, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, untuk selanjutnya disebut UU RPJPN 2005 – 2025.
            Dalam UU RPJPN 2005 – 2025 terdapat beberapa bidang pembangunan, yaitu:
a.       Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama;
b.      Ekonomi;
c.       Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
d.      Sarana dan Prasarana
e.       Politik;
f.       Pertahanan dan Keamanan;
g.      Hukum dan Aparatur;
h.      Wilayah dan Tata Ruang; dan
i.        Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program Pembangunan Nasional bidang hukum, dinyatakan bahwa :[2]
Dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitt berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

Program pembangunan nasional di bidang hukum sebagaimana yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 – 2025 merupakan politik hukum pemerintah. Politik hukum pemerintah merupakan kebijakan pemerintah dalam melaksaanakan pembangunan di bidang hukum. Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan Negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan Negara.[3]
Makalah ini akan berupaya mengkaji apakah politik hukum pemerintah yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 – 2025 mencerminkan cita hukum bangsa dan Negara Indonesia.

II.            HAKEKAT POLITIK HUKUM
Sejauh pengetahuan penulis, sampai hari ini belum ada kata sepakat tentang hakekat politik hukum. Bahkan menurut Moh. Mahfud MD, membuat definisi tentang “politik hukum” sama tidak sederhananya dengan membuat definisi tentang “hukum” atau “sistem hukum”. Artinya ia agak sulit dirumuskan dalam satu rangkaian yang dapat memberikan pengertian yang utuh tentang apa yang sebenarnya didefinisikan.[4]
Namun demikian, ada sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa studi politik hukum memberikan jawaban atas pertanyaan:[5]
1.      Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada? Tujuan ini bisa berupa satu tujuan besar yang tunggal, bisa juga dipecah-pecah ke dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik menurut bidang, seperti ekonomi, sosial, yang kemudian masih dipecah-pecah ke dalam tujuan yang lebih kecil lagi.
2.      Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut? Termasuk di dalamnya persoalan pemilihan antara hukum tertulis atau tidak tertulis, antara sentralisasi dan desentralisasi.
3.      Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaiman perubahan itu sebaiknya dilakukan?
4.      Dapatkah dirumuskan suatu pula yang mapan yang bisa memutuskan kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut? Termasuk di dalamnya proses untuk memperbaharui hukum secara efisien: dengan perubahan total?, dengan perubahan bagian demi bagian.

Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[6] Definisi ini mencakup hukum positif (ius constitutum) dan hukum yang akan ditetapkan kemudian (ius constituendum).
Agak berbeda dengan TM. Radhie, Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.[7]
Solly Lubis berpendapat bahwa politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[8]
Sedangkan Sudarto berpendapat bahwa politik hukum merupakan kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[9]
Dari berbagai pendapat tentang definisi politik hukum, penulis berkesimpulan bahwa politik hukum adalah kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga Negara yang berwenang untuk mengarahkan peraturan perundangan yang akan dibangun yang diarahkan guna mencapai tujuan bangsa dan Negara.


III.            PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG HUKUM
III. 1. Dasar Pertimbangan
Konsiderans menimbang UU RPJPN 2005 - 2025 menyatakan bahwa terdapat tiga argumentasi mengapa perlu diundangkan:[10]
a.       perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional;
b.      Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945;
c.       Sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Dalam konsiderans mengingat huruf a di atas, lembaga yang berwenang menyusun undang-undang menyadari sepenuhnya bahwa telah terjadi pergeseran kewenangan pada MPR. MPR yang pada awalnya memiliki kewenangan untuk menetapkan GHBN, setelah perubahan UUD 1945 kewenangan tersebut dihapuskan. Dengan demikian tidak ada satu lembaga negarapun yang memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN.
Penghapusan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN memang dikehendaki oleh beberapa pihak. Hal ini tampak dari pembahasan perubahan UUD 1945. Dalam Rapat PAH I BP MPR tanggal 24 April 2001 yang dipimpin oleh Jacob Tobing, anggota Tim Ahli Affan Gafar menyatakan bahwa GBHN adalah merupakan platform partai yang memenangkan pemilu, yang seterusnya sangat ditentukan oleh platform calon Presiden yang memenangkan kursi Kepresidenan.[11]
Pendapat yang sama dikemukan oleh anggota Tim Ahli Maswadi Rauf pada Rapat  PAH I BP MPR ke-15 tanggal 15 Mei 2001. Maswadi perpendapat bahwa kita memang beranggapan tidak perlu GBHN. Karena itu menjadi wewenang Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga tidak diperlukan adanya bimbingan dari MPR RI, tidak diperlukan adanya tolok ukur dari MPR, sehingga Presiden itu nanti tidak bisa lagi dijatuhkan karena perbedaan policy, perbedaan pendapat dalam kebijakan antara MPR dengan Presiden.[12]
Pendapat yang sangat tajam dikemukakan oleh anggota Tim Ahli Ramlan Surbakti pada Rapat  PAH I BP MPR ke-19 tanggal 29 Mei 2001. Ramlan berpendapat bahwa MPR selama ini hanya bicara mengenai GBHN yang tingkatannya tingkat cita-cita. Sedangkan kalau kita bicara undang-undang atau APBN itu sudah jelas lebih operasional.[13]
Dari pendapat ketiga orang anggota Tim Ahli BP MPR di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum penghapusan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN adalah dikehendaki oleh beberapa pihak tertentu.
Berkaitan dengan konsiderans menimbang huruf b, tujuan pendirian Negara Indonesia adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu:
a.       Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.      Memajukan kesejahteraan umum;
c.       Mencerdaskan kehidupan bangsa;
d.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan pendirian negara Indonesia di atas, tentu tidak dapat diraih seketika. Oleh karena itu diperlukan tahapan-tahapan untuk mencapainya. Pada era pemerintahan Presiden Suharto hingga Presiden Megawati Sukarno Putri, menggunakan GBHN sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutya disebut UU SPPN,  sebagai dasar dalam melaksanakan pembangunan nasional. Selanjutnya UU RPJPN 2005 - 2025 merupakan amanat UU SPPN, oleh karena itulah UU SPPN menjadi salah satu konsiderans menimbang UU RPJPN 2005 - 2025 sebagaimana dimaksud dalam konsiderans menimbang huruf c.

III.2. Substansi Pembangunan Bidang Hukum
Dalam UU RPJPN 2005 - 2025, penulis mencatat bahwa pembangunan bidang hukum bukanlah mendapat prioritas utama, hal ini disebabkan oleh dua hal:
a.       Pembangunan bidang hukum ada pada urutan ketujuh, setelah bidang pertahanan kemanan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum bukanlah panglima dalam pembangunan nasional;
b.      Pembangunan bidang hukum digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat. Menurut hemat penulis, pembangunan bidang hukum lebih luas daripada pembangunan bidang aparatur. Pembangunan bidang hukum tidak hanya meliputi aparatur penegak hukum, tetapi meliputi juga hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan keaadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Sedangkan pembangunan bidang aparatur lebih dititikberatkan pada aparatur negara. Dengan demikian penggabungan antara pembangunan bidang hukum digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat.
Pembentuk UU RPJPN 2005 - 2025 beranggapan bahwa antara pembangunan bidang hukum dengan penerapan hukum. Hal ini tampak dari bidang garapan pembangunan hukum, meliputi:
a.       Pembangunan substansi hukum, yang ditindaklanjuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[14] Diharapkan dengan diundangkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan.
b.      Pembangunan struktur hukum, yang meliputi pembangunan aparatur pelaksana kekuasaan kehakiman. Lembaga-lembaga Negara yang disebut adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, sedangkan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebutkan.
c.       Pembangunan budaya hukum, dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang diarahkan untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.
Dalam kajian teoritis, bidang garapan pembangunan hukum di atas memandang hukum sebagai suatu sistem (legal system) yang memiliki komponen substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.[15]
I Nyoman Nurjaya mempertajam pendapat Lawrence M Friedman bahwa hukum sebagai suatu sistem (legal system) dipelajari sebagai produk budaya yang pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu:[16]
1.      Struktur hukum (structure of legal system) yang meliputi lembaga legislatif dan institusi penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan);
2.      Substansi hukum (substance of legal system) yang semua produk hukum berupa peraturan perundang-undangan; dan
3.      Budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide, persepsi, pendapat, sikap keyakinan, dan perilaku, termasuk harapan-harapan masyarakat terhadap hukum.

Apa yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 - 2025 bidang pembangunan hukum di atas, lebih mengarah pada penerapan hukum. Penerapan hukum dan pembangunan hukum adalah berbeda. Berbeda dengan pekerjaan penerapan atau pelaksanaan hukum, maka pembangunan hukum ini menghadapkan kita kepada pemilihan-pemilihan. Hal ini disebabkan oleh struktur kehidupan sosial kita sendiri yang tidak lagi didasarkan pada tata nilai yang padu.[17] Hukum dapat berlaku secara efektif atau tidak akan sangat bergantung pada kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) masyarakat yang bersangkutan.[18] Oleh karena itu, pembangunan bidang hukum haruslah memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) yang hidup di dalam masyarakat. Tanpa memperhatikan hal-hal di atas, pembangunan bidang hukum akan menjadi sia-sia.

IV.            PENUTUP
Uraian pada bagian-bagian terdahulu memperlihatkan bahwa pembangunan bidang hukum yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 - 2025 menyamakan antara penerapan hukum dengan pembangunan hukum yang seharusnya berbeda. Sebagai akibatnya, pembangunan bidang hukum terbatas pada apa yang disebut oleh Lawrence M Friedman sebagai komponen atau elemen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Agar pembangunan hukum berlaku efektif di masyarakat, pembentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) yang hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian, pembangunan bidang hukum yang kita laksanakan akan dapat menuju cita-cita hukum nasional yang diidam-idamkan. Pada akhirnya, tujuan pendirian negara Indonesia dapat terwujud, yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur sejahtera.

V.            DAFTAR PUSTAKA
1.      Literatur:
Lawrence M Friedman, The Legal System A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, 1975.

M Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003.

Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

­­­__________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

__________, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

__________, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandmen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

__________, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Bandung, 2009.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.



2.      Makalah:

I Nyoman Nurjaya, Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Ke-2 Membangun Kembali Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 16-19 Juli 2002 di Universitas Udayana, Bali.

3.      Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan









[1] Vide Pasal 3 UUD 1945
[2] Vide Lampiran UU RPJPN 2005-2025 huruf  G, Hukum dan Aparatur
[3] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 15-16. Bandingkan pendapat Moh. Mahfud MD yang menyatakan bahwa Politik Hukum adalah arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Lihat Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandmen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 49. Bandingkan pula dengan pendapat Moh. Mahfud MD yang menyatakan bahwa politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1-2.
[4] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, h. 29.
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 352-353.
[6] Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, h. 3 dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 13.
[7] Padmo Wahjono, Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, h. 160 dalam Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 13.
[8] Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, h. 49 dalam M Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, h. 13.
[9] Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat:Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 16 dalam M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, h. 14.
[10] Vide Konsiderans Menimbang UU RPJPN 2005 – 2025.
[11] Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, h. 326.
[12] Ibid., h. 340-341.
[13] Ibid., h. 346-347.
[14] Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[15] Lawrence M Friedman, The Legal System A.Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, 1975, h. 13-16.
[16] I Nyoman Nurjaya, Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Ke-2 Membangun Kembali Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 16-19 Juli 2002 di Universitas Udayana, Bali, h. 107.
[17] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Bandung, 2009, h. 203.
[18] I Nyoman Nurjaya, loc.cit.

Senin, 05 Desember 2011 0 komentar

PAK TRI

Saya tidak tau nama lengkapnya. Begitulah, setiap orang di lingkungan kampus memanggil namanya, “Pak Tri”.
Saya mengenalnya sudah hampir 20 tahun. Waktu itu, pertama kali saya ditugasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ke kampus ini. Saya berangkat tepat tengah malam dari Madiun, kota kelahiran saya. Jam 7 pagi saya sampai di depan kampus. Ada seorang mahasiswa dan ada seorang laki-laki tua, yang kemudian saya tahu namanya pak Tri.
“Saya mau menghadap pak Rektor”, begitu kata saya sambil menyalami tangan pak Tri.
Dengan tatapan mata yang tajam, pak Tri bilang, “Di sini aktifitasnya sore hari”. Itulah awal perkenalan saya dengan pak Tri, yang kemudian saya ketahui sebagai penjaga kampus. Pak Tri tinggal di lingkungan kampus, siang dan malam.
Hubungan saya dengan pak Tri semakin akrab ketika saya ditugasi oleh pimpinan menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik di Fakultas Hukum. Hampir setiap pagi hari saya selalu ke kampus, sekalipun kegiatan kampus sore hari. Ada saja yang saya kerjakan, baik sendiri ataupun bersama-sama dengan teman yang lain.
Keakraban saya dengan pak Tri semakin dekat, ketika istri saya mengandung anak pertama kami. Istri saya memilih tinggal di Madiun selama hamil sampai melahirkan.
Suatu sore, saya lupa tanggalnya, saya lagi mengetik sebuah naskah untuk mengajar sebuah mata kuliah. Ketika saya mengetik, ada telunjuk yang menunjuk monitor komputer sambil ada suara, “Pak Win salah”. Tanpa berpikir panjang, saya bilang “O iya”. Sambil saya membetulkan ketikan yang salah tersebut.
Tiba-tiba saya sadar, saya di ruangan kantor Fakultas Hukum sendirian. Terus tadi telunjuk siapa. Teriaklah saya memanggil “pak Trrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ………………”
Tergopoh-gopoh pak Tri datang. Padahal jarak antara ruangan kantor Fakultas Hukum dengan tempat tinggal pak Tri lumayan jauh.
Bedhe napa pak Win”, Tanya pak Tri dengan logat Madura yang sangat kental. Saya lantas cerita kejadian yang baru saja saya alami.
Die benyak cobena pak Win. Tapi pak Win tak usah takok. Dekik mon bedhe poleh, pak Win ngocak, saya kancana pak Tri. Beres pon”. Kalimat itu yang sampai saat ini selalu saya gunakan bila bulu kuduk saya merinding di kampus.
Ketika saya mengundurkan diri sebagai Pembantu Dekan, pak Tri tetap baik ke saya. Tidak ada perubahan perilaku ke saya, tetap ramah.
Akhir 2007, saya diminta pak Hadi untuk membantu beliau menjadi Pembantu Rektor bidang Akademik. Komunikasi saya dengan pak Tri semakin dekat. Pak Tri bukan saja sebagai orang yang membantu saya dalam melaksanakan tugas kampus, tapi juga menjadi teman berbicara ketika saya harus kerja sampai jauh malam, bahkan dini hari. Anak-anak sayapun, Aal dan Uul, juga dekat dengan pak Tri. Meskipun tidak setiap hari, anak-anak saya sering ditunggui pak Tri ketika anak-anak saya menunggu jemputan di ruangan kerja saya. Diajak ngobrol, dan sesekali pak Tri menggoda anak-anak saya kalau tidak boleh menunggu di ruangan Pembantu Rektor. Pak Tri selalu cerita kalau habis menggoda anak saya.
Tak terasa, sudah 19 tahun saya berkenalan dan berdekatan dengan pak Tri.
Akhir-akhir ini kampus sering kehilangan LCD di kelas. Tudingan diarahkan ke pak Tri yang mengambil. Secara pribadi, saya tidak percaya. Bagaimana mungkin LCD yang ditaruh di atas, pak Tri bisa mengambilnya? Berdiri saja kaki pak Tri sudah gemetar, apalagi naik ke atas.
Argumentasi saya dipatahkan oleh beberapa teman, “Memang bukan pak Tri yang mengambil sendiri, tapi suruhan orang lain”.
Puncaknya, pak Tri diberhentikan. Argumentasinya, pak Tri sudah memasuki usia pensiun. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Minggu lalu, pak Tri ke ruangan saya untuk pamitan.
Seporana mon bedhe kesalahan kaule pak Win”.
Saya tidak bisa berbicara sepatahpun. Hati saya menangis. Seorang tua renta, pulang dengan membawa “kekalahan”. Padahal pak Tri tidak pernah menuntut bayaran tinggi. Yang dipikirkan hanya sebuah jasa, bahwa orang tua seperti dia masih dibutuhkan oleh sebuah lembaga yang dikenal sebagai kampus. Kalimat itu sering diucapkan setiap kali berbicara dengan saya, karena itu saya hapal di luar kepala.
Mudah-mudahan saya masih bisa jadi saksi sejarah, bahwa tudingan pak Tri suka mengambil barang adalah tidak benar. Faktanya, walaupun pak Tri sudah dirumahkan, ternyata masih ada LCD yang hilang. Jadi, siapa sebenarnya pencuri itu. Jangan jangan, jangan jangan pelakunya adalah ……  
Rabu, 21 September 2011 0 komentar

S3

Oleh: Winasis Yulianto*

Dulu, sewaktu saya menempuh pendidikan magister ilmu hukum di Universitas Airlangga Surabaya tahun sembilan puluhan, teman-teman saya memberi singkatan S3 adalah setiap sabtu setor. Itu artinya, setiap hari Sabtu pulang ke rumah untuk bertemu keluarga atau kekasih. Jarak dekat atau jauh tidak pernah terpikir, yang penting bertemu dengan orang-orang yang dicintai dan dikasihi.
Sebagai seorang akademisi, pendidikan S3 atau setara dengan program doktor merupakan suatu keharusan, walaupun sampai saat ini saya belum pernah mengikuti pendidikan S3. Kalau toh suatu saat saya harus menempuh pendidikan S3, itu bukan untuk gaya-gayaan, tetapi memang suatu keharusan. Syarat menjadi guru besar (profesor) pun harus memiliki jenjang pendidikan S3. Mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi saya harus berusaha mengikuti pendidikan S3 secepatnya.
Beberapa hari lalu, saya minta waktu bertemu dengan seorang yang saya anggap sebagai kawan, saudara, senior dan panutan. Pertemuan sesaat yang kurang dari satu jam itu begitu bermakna. Banyak hal yang kami diskusikan, tidak hanya skala lokal Situbondo, tetapi juga skala nasional. Begitu mengasyikkan pembicaraan saat itu.
Senior saya bercerita kalau ia lagi mengikuti pendidikan S3 bidang ilmu hukum di sebuah universitas negeri di provinsi tetangga. Komentar pendek saya, “Bagus sekali itu, ndan, begitu saya biasa memanggilnya. Gagasan apa yang akan ditulis dalam disertasi nanti”, begitu pertanyaan yang saya ajukan setiap kali bertemu seorang kawan yang sedang mengikuti pendidikan doktor.
Saya terkaget-kaget ketika senior saya itu balik bertanya, “Menurut pak Win, apa yang mudah ditulis dalam disertasi, sehingga cepat selesai kuliah S3 saya”. Kami lantas diskusi panjang tentang Indonesia sebagai Negara Hukum. Dari literatur yang pernah saya baca, negara hukum itu harus memenuhi paling tidak 3 (tiga) persyaratan mendasar: pertama, adanya pemisahan kekuasaan aantara ekskutif, legislatif dan yudikatif. Kedua, adanya pengakuan hak asasi manusia dan ketiga adanya peradilan yang bebas. Pertanyaan kita, apakah Indonesia adalah Negara hukum. Secara normatif ya, karena peraturan perundang-undangan kita, mulai konstitusi hingga peraturan terendah, mengamanatkan Indonesia adalah Negara hukum. Bagaimana secara empirik, masih debatable.
Kuncinya sekarang, bagaimana politik hukum pemerintah untuk mewujudkan Negara hukum, baik secara normatif maupun secara empirik. Langkah ini tidak sekedar memerlukan pemikiran para pendekar Hukum Tata Negara, tetapi perlu kerja keras bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Diskusipun menjadi lebih menarik ketika kita pada kesimpulan bahwa satu lembar atau dua lembar pemikiran kita dapat dijadikan warna dalam penetapan politik hukum pemerintah. “Oleh karena itulah, saya ikut pendidikan doktor ilmu hukum”, begitu kata senior saya.
Terbayanglah sosok pembimbing saya pada saat menempuh Magister dulu, Prof. Dr. Abdoel Rasjid, SH., LLM. Di sela-sela kesibukan beliau dan tengah-tengah bimbingan tesis, beliau pernah bertanya pada saya, “Kon iku, pengen duwe gelar doktor disik, opo duwe pikiran doktor disik?” Pertanyaan yang sekalipun berupa pilihan, tak mudah bagi saya untuk menjawabnya. Konsekuensilah yang membuat saya sulit menjawab pertanyaan Prof. Rasjid di atas.
Kalau saya jawab ingin memiliki gelar doktor dulu, maka saya harus tinggal lebih lama di Surabaya. Apalagi badai krisis moneter melanda Indonesia saat itu, sedikit atau banyak, juga berimbas pada diri saya. Namun kalau saya menjawab ingin memiliki pemikiran doktor dulu, Indonesia memiliki karateristik formalistik, ijasah formal sangat diperlukan untuk menunjang bahwa kita benar-benar seorang doktor.

Disertasi
Tentu ada beda antara skripsi, tesis dan disertasi dalam bidang ilmu hukum. Gampangnya, skripsi adalah implemetatif perundang-undangan. Seorang mahasiswa S1 kalau akan menyelesaikan studinya, ia harus menulis skripsi. Implementasi perundang-undangan itu sebagai wilayahnya. Kita tidak boleh berharap banyak dari skripsi seorang mahasiswa, selain itu.
Tesis merupakan kewajiban mahasiswa dalam menyelesaikan studinya pada program magister (S2). Substansi tesis adalah pengembangan teori yang sudah ada. Mahasiswa diminta membaca teori-teori yang ada, selanjutnya memberikan komentar kelebihan atau kekurangan berbagai macam teori.
Dalam disertasi kita dapat berharap banyak, karena di situlah tempat penemuan teori baru. Jadi bukan persoalan mudah atau tidak mengikuti pendidikan S3. Kita benar-benar ditempa untuk memiliki pemikiran yang luar biasa. Pemikiran itu tidak hanya dalam kerangka menyelesaikan S3, tetapi akan dimanfaatkan untuk membangun Indonesia tercinta.
Ada sebuah anekdot, yang sering kali membuat telinga para akademisi kita menjadi merah. Syahdan, di bulan para astronot dari berbagai Negara bertemu. Astronot dari Amerika ditanya “how did you come here”. Sang Amerika menjawab, “Apolo 11”. Pertanyaan beralih ke astronot Rusia, dengan pertanyaan yang sama. Sang Rusia menjawab, “Soyuz”. Sang China menjawab, “Bambu”. Para astronot terkaget-kaget, “Kok bisa?”. “Ya, negeri kami kan kaya dengan bambo”, jawab Sang China dengan enteng. Pertanyaan terakhir ditanyakan ke astronot Indonesia. Astronot kita menjawab, “Saya ke bulan dengan mengendarai makalah, laporan penelitian, skripsi, tesis, bahkan disertasi”. Begitu banyaknya karya ilmiah yang kita buat, kalau ditumpuk sampai ke bulan. Namun angka kemiskinan tetap tinggi, angka partisipasi aktif masih rendah dan derajat kesehatan masih rendah. Lantas saya berpikir, apa yang salah dalam karya ilmiah yang saya sebut di atas. Metodenya yang salah, substansi pemikirannya yang salah atau teorinya yang salah.
Akhirnya saya ingin berpesan pada senior saya yang sedang menempuh S3, “Ndan, saya ingin disertasi panjenengan nanti implementatif. Sebuah karya besar yang akan membawa warna dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Disertasi itu yang saya harapkan akan membawa panjenengan menjadi orang berskala nasional. Masak sudah puas jadi orang regional, nggak kan.”
Jumat, 03 Juni 2011 0 komentar

BATIK SITUBONDO

Batik adalah produk industri kerajinan yang kita punya. Batik pernah menghebohkan komunikasi antar dua bangsa serumpun, Indonesia-Malaysia. Begitu dahsyatnya batik, membuat dua negara saling adu gengsi untuk mempertahankan pengakuan masing-masing.

Perdebatan
Ketika mengantarkan terapi istri saya ke seorang teman, kami melewati sebuah pesantren yang sedang memproduksi batik. Ada yang sedang mendesign dengan cara menggambar di kain, ada yang sedang menjemur batik – tampaknya – yang sudah jadi.
Sampai di tempat terapi, kami disambut oleh istri teman saya. Ia mengatakan kalau suaminya lagi membatik di rumah seorang teman. “Tapi tidak masalah, toh yang akan menerapi istri pak Win itu saya”, begitu kata istri teman saya.
Karena merasa tidak nyaman, saya telpon teman saya. “Oke bos, biar saya pulang”, kata teman saya di seberang telpon. Tak lama, teman saya datang dengan tangan dan baju yang kotor. Ia pasti lagi bekerja, pikir saya.
Kami pun basa basi. Karena keingintahuan saya, saya bilang agar saya diajak ke tempat pembatikan. Ia setuju.
Di tempat pembatikan, teman saya begitu lancar cerita tentang proses membatik. Diawali dengan design pada kain, diberi malam – benda padat yang akan mencair bila dipanaskan, yang digunakan sebagai sarana pembatikan – sampai pewarnaan, peluruhan, dan penjemuran. Ia juga membandingkan kualitas sampai harga batik yang ada di Situbondo.
Sesampai di rumah saya merenungi pernyataan-pernyataan teman saya. Di Situbondo ada berbagai corak batik, bercorak bebas, bercorak Madura, bercorak Situbondo, dan entah bercorak apalgi saya tidak tahu.
Teman saya bilang, kita mengklaim bahwa corak batik Situbondo adalah batik yang memiliki motif kerang. Pertanyaan mendasar yang dapat kita ajukan, benarkah motif batik kerang adalah corak batik Situbondo. Mengapa di tengah alun-alun kita justru terdapat perahu layar sebagai maskot Situbondo. Mengapa tidak kerang saja yang kita jadikan maskot di tengah alun-alun kita.
Masih kata teman saya, atau kita harus berkilah, maskot Situbondo untuk batik ya kerang, sedangkan maskot Situbondo ya perahu layar. Kalau itu yang dijadikan argumentasi, mengapa di Situbondo ada patung udang di barat desa Wringinanom. Mestinya patung perahu layar juga yang harus kita bangun di sana, bukan patung udang.
Tampaknya kita harus duduk bersama – para pemangku kepentingan batik – untuk segera merumuskan corak batik Situbondo. Kita harus menggali bersama-sama, corak apa yang akan kita jadikan maskot batik Situbondo. Pemerintah Kabupaten Situbondo (PKS) kemudian menetapkannya melalui keputusan Bupati tentang batik Situbondo. Bilamana perlu, kita patenkan corak batik Situbondo.

Kebijakan dan Efek Bola Salju
PKS patut bergembira melihat geliat batik Situbondo. Ada beberapa sentra batik yang saya ketahui: di desa Selowogo, di desa Peleyan Kapongan, di desa Paowan, dan di desa Kilensari. Di luar yang saya sebutkan, saya belum tahu. Kita bayangkan satu sentra batik dapat menyerap 25 orang tenaga kerja, maka kita telah menambah jumlah tenaga kerja, yang berarti pula kita telah mengurangi jumlah angka pengangguran.
Ada baiknya PKS membuat kebijakan yang menunjang dan meningkatkan perputaran batik Situbondo. Kebijakan pertama yang perlu dibuat adalah dengan melakukan pembinaan di setiap sentra-sentra batik yang ada. Pembinaan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas batik Situbondo, yang sementara ini - tentu - relatif tidak sama antara satu sentra dengan sentra yang lain.
Kedua, PKS perlu memberikan bantuan permodalan bagi pengembangan batik Situbondo dengan cara yang mudah dan bunga rendah. Yang saya ketahui, sentra batik-sentra batik itu belum memiliki perizinan usaha, sehingga akan mengalami kesulitan bila mengajukan kredit modal ke perbankan secara langsung. Oleh karena itu, perlu intervensi PKS dalam permodalan sentra batik Situbondo melalui APBD.
Ketiga, PKS perlu memberikan proteksi terhadap sentra-sentra batik Situbondo. Artinya, seluruh SKPD maupun sekolah yang mempergunakan batik sebagai uniform, harus memesan ke sentra batik Situbondo. Sentra batik mana tempat memesan, itu masalah teknis yang mudah diatur.
Dengan tiga kebijakan di atas, maka PKS akan menggerakkan sektor ekonomi kerakyatan dan mengurangi angka pengangguran terbuka. Semakin kuat sentra batik Situbondo maka akan semakin besar gerakan ekonomi kerakyatan dan semakin banyak mengurangi angka pengangguran terbuka.

Penutup
Batik Situbondo merupakan kekayaan kita. Kita sendiri yang harus menjaga dan mengembangkannya. Kalau bukan kita, siapa lagi. Ya nggak ….
Selasa, 03 Mei 2011 1 komentar

PEMERINTAHAN DAERAH = Bupati + DPRD

Oleh: Winasis Yulianto*

Rabu, tanggal 27 April 2011 saya ditugasi pimpinan untuk menghadiri sebuah rapat akademik ke luar kota. Sehabis sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan. Handphone saya berbunyi. Di seberang terdengar suara pimpinan saya, “Have you read Radar Banyuwangi today”. Aku jawab, “Not yet, Sir. I’m on the the way to ……. ”.
Pimpinan saya kemudian bercerita kalau kawan-kawan di DPRD menduga naskah akademik Raperda Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah copy-paste dari daerah lain. Saya kontak sana sini, yang kemudian memperoleh email naskah akademik yang diduga copy-paste itu.
Dari email itu, saya pahami kawan-kawan DPRD membaca betul-betul naskah akademik. Ada kalimat “DKI Jakarta” dalam naskah akademik itu, sehingga menduga naskah akademik itu copy-paste dari daerah lain. Padahal kalimat “DKI Jakarta” itu berasal dari bunyi peraturan perundang-undangan.
Saya tiba-tiba sedih dan takut. Kesedihan yang saya pikirkan, pasti akan menimbulkan reaksi dari pemerintah kabupaten. Sedangkan ketakutan saya bersumber akan menimbulkan suasana komunikasi yang kembali menghangat antara pemerintah kabupaten dengan DPRD. Padahal suasana baru saja cair setelah pembahasan APBD 2011 yang begitu alot dan panjang.
Apa yang saya sedihkan dan takutkan terbaca di Radar Banyuwangi, Senin 2 Mei 2011. Satu berita berjudul “Pernyataan Ketua DPRD Tidak Berdasar”, ini merupakan cerminan kesedihan saya, walaupun saya sangat memahami pernyataan Wakil Bupati. Dan itu sebuah pernyataan yang logis dan harus dilakukan seorang pemimpin untuk mempertanggungjawabkan tugasnya ke masyarakat Situbondo.
Judul yang lain, “APBD Belum Pro Rakyat Kecil” merupakan cerminan kesedihan saya. Koordinator Divisi Resources Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Jatim menyatakan bahwa “Belanja langsung 37,7 persen, belanja publik hanya 15,8 persen”. Mudah-mudahan apa yang di-press-release-kan oleh Fitra benar-benar untuk kepentingan Kabupaten Situbondo, bukan untuk kepentingan lain atau hidden agenda.

Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya memberikan definisi yang jelas siapa yang dimaksud dengan pemerintahan daerah (Pemda). Pemda adalah Bupati dan DPRD. Jadi kepada dua institusi inilah masyarakat menaruhkan harapan agar kehidupannya menjadi lebih baik. Hidup menjadi lebih sejahtera, makmur dan wong cilik iso gumuyu.
Bupati dan DPRD harus bergandengan tangan, duduk bersama dan bahu membahu guna meningkatkan daya beli masyarakat. Angka kemiskinan turun, indeks pembangunan manusia naik dan derajat kesehatan masyarakat meningkat. Itu harapan masyarakat, tidak muluk-muluk bisa beli mobil atau barang mewah lainnya.
Kalau keinginan masyarakat itu terpenuhi, maka yang mendapat acungan jempol tidak hanya Bupati, tetapi DPRD akan mendapat pujian serupa. Ada kepuasan batin yang akan kita raih, ternyata tugas yang diembankan kepada kita memperoleh pengakuan dari masyarakat. Catatan emas sudah kita torehkan dalam sejarah hidup, yang akan dibaca anak-cucu kita nantinya.
Penutup
Kepada siapakah masyarakat harus menaruhkan harapan kalau tidak kepada panjenengan berdua, Bupati dan DPRD. Bekerjalah lebih giat, sehingga kehidupan masyarakat Situbondo menjadi lebih sejahtera. Hanya itu, tak lebih. Dan wong cilik iso gumuyu.
Senin, 02 Mei 2011 0 komentar

LEGISLATIF MENJADI EKSKUTIF?

Oleh: Winasis Yulianto*

Mudah-mudahan koran Radar Banyuwangi yang berjudul “Usulan Proyek DPRD Capai Rp 7,8 M” (Kamis, 10/2/2011) tidak benar. Kalau berita yang ditulis Radar Banyuwangi benar, betapa kita sudah tidak tahu lagi tugas dan fungsi antara legislatif dan ekskutif. Kegiatan proyek adalah kegiatan ekskutif, bukan kegiatan legislatif. Menyitir lagunya group band Armada, “Mau dibawa kemana hubungan kita”.
Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan soal RAPBD 2011, tetapi ingin mendudukkan posisi semula tugas dan fungsi masing-masing lembaga yang ada. Kita harus introspeksi diri, berkontemplasi, apakah tugas dan fungsi kita sudah kita laksanakan dengan seoptimal mungkin. Bukan kemudian kita justru terlibat dalam tugas dan fungsi lembaga lain, sementara kita masih punya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan.

Legislatif
Dari literatur yang saya baca, lembaga legislatif merupakan lembaga yang terhormat. Kawan-kawan yang duduk di lembaga itu juga orang-orang pilihan dan harus memiliki kualifikasi hebat. Karena itu, kawan-kawan yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang mumpuni, bukan orang sembarang.
Kawan-kawan yang duduk di legislatif sangat memahami apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Saya hanya mengingatkan kembali bahwa tugas dan fungsi legislatif adalah legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling). Ketiganya harus diperankan secara maksimal.
Legislasi adalah kewenangan untuk membuat peraturan, dalam konteks daerah adalah membuat peraturan daerah (perda) bersama-sama dengan ekskutif. Apapun substansi perda yang akan diatur harus dilakukan pembahasan dengan legislatif, termasuk perda tentang APBD.
Menyoal perda tentang APBD, berarti sekaligus peran legislatif dalam fungsi anggaran. Anggaran yang tertuang dalam APBD haruslah mengacu dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di atasnya. Tentu kita tidak mengharapkan ada persoalan hukum di kemudian hari bilamana kita paksakan penganggaran satu atau beberapa kegiatan yang melampaui angggaran yang telah diatur perundang-undangan di atasnya.
Fungsi pengawasan meliputi pengawasan kegiatan yang dilaksanakan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif. Legislatif dapat memanggil ekskutif untuk memberikan penjelasan terhadap kegiatan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif.
Pakem legislatif jelas pada tiga ruang ini. Jangan sampai legislatif keluar dari pakem perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Proyek
Proyek merupakan wilayah dan ruang ekskutif. Di situlah ekskutif memang dan seharusnya bekerja. Proyek merupakan sarana ekskutif untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukankan salah satu tujuan pendirian Negara ini adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa?
Dengan argumentasi apapun, legislatif tidak elok memasuki wilayah dan ruang ekskutif. Saya tidak sependapat dengan sumber di DPRD yang menyatakan “sebagian besar angggota DPRD mengajukan proyek fisik melalui revisi KUA-PPAS”, sekalipun dengan argumentasi “anggota DPRD (selain FKNU dan FKN) merasa konstituen mereka tidak diperhatikan karena minim sekali proyek yang ditempatkan di tempat mereka”. (Radar Banyuwangi, 10/2/2011). Apalagi angkanya mencapai 7,8 M., sebuah angka fantastis untuk sekelas kita di Kabupaten Situbondo.
Kalau asumsi “minim proyek yang ditempatkan di tempat mereka” benar, bawa saja hasil jaring aspirasi masyarakat tersebut ke musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di beberapa level tingkatan. Musrenbang dilaksanakan pada level desa/kelurahan, kecamatan dan kabuupaten. Perjuangan yang dapat dilakukan oleh kawan-kawan legislatif sebatas memasukkan proyek yang diharapkan menjadi prioritas pembangunan. Biarkan ekskutiflah yang memutuskan, apakah proyek yang diharapkan tercantum dalam RAPBD atau tidak.
Toh, masyarakatlah nanti yang akan memberikan penilaian. Bukankah suara rakyat suara Tuhan, vox Populi vox Dei.

Penutup
Mudah-mudahan paradigma legislatif menjadi ekskutif tidak akan pernah terjadi. Legislatif dan ekskutif sudah memiliki ruang dan wilayah bekerja masing-masing yang diatur dengan perundang-undangan. Mari kita bekerja di ruang dan wilayah kita. Dan itu, akan menjadi catatan sejarah kita bersama. Gusti Allah ora sare.
0 komentar

LEGISLATIF MENJADI EKSKUTIF?

Oleh: Winasis Yulianto*

Mudah-mudahan koran Radar Banyuwangi yang berjudul “Usulan Proyek DPRD Capai Rp 7,8 M” (Kamis, 10/2/2011) tidak benar. Kalau berita yang ditulis Radar Banyuwangi benar, betapa kita sudah tidak tahu lagi tugas dan fungsi antara legislatif dan ekskutif. Kegiatan proyek adalah kegiatan ekskutif, bukan kegiatan legislatif. Menyitir lagunya group band Armada, “Mau dibawa kemana hubungan kita”.
Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan soal RAPBD 2011, tetapi ingin mendudukkan posisi semula tugas dan fungsi masing-masing lembaga yang ada. Kita harus introspeksi diri, berkontemplasi, apakah tugas dan fungsi kita sudah kita laksanakan dengan seoptimal mungkin. Bukan kemudian kita justru terlibat dalam tugas dan fungsi lembaga lain, sementara kita masih punya pekerjaan rumah yang harus segera kita selesaikan.

Legislatif
Dari literatur yang saya baca, lembaga legislatif merupakan lembaga yang terhormat. Kawan-kawan yang duduk di lembaga itu juga orang-orang pilihan dan harus memiliki kualifikasi hebat. Karena itu, kawan-kawan yang duduk di lembaga legislatif adalah orang-orang yang mumpuni, bukan orang sembarang.
Kawan-kawan yang duduk di legislatif sangat memahami apa yang menjadi tugas dan fungsinya. Saya hanya mengingatkan kembali bahwa tugas dan fungsi legislatif adalah legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (controlling). Ketiganya harus diperankan secara maksimal.
Legislasi adalah kewenangan untuk membuat peraturan, dalam konteks daerah adalah membuat peraturan daerah (perda) bersama-sama dengan ekskutif. Apapun substansi perda yang akan diatur harus dilakukan pembahasan dengan legislatif, termasuk perda tentang APBD.
Menyoal perda tentang APBD, berarti sekaligus peran legislatif dalam fungsi anggaran. Anggaran yang tertuang dalam APBD haruslah mengacu dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di atasnya. Tentu kita tidak mengharapkan ada persoalan hukum di kemudian hari bilamana kita paksakan penganggaran satu atau beberapa kegiatan yang melampaui angggaran yang telah diatur perundang-undangan di atasnya.
Fungsi pengawasan meliputi pengawasan kegiatan yang dilaksanakan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif. Legislatif dapat memanggil ekskutif untuk memberikan penjelasan terhadap kegiatan maupun kebijakan yang diambil oleh ekskutif.
Pakem legislatif jelas pada tiga ruang ini. Jangan sampai legislatif keluar dari pakem perundang-undangan yang telah ditetapkan.

Proyek
Proyek merupakan wilayah dan ruang ekskutif. Di situlah ekskutif memang dan seharusnya bekerja. Proyek merupakan sarana ekskutif untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukankan salah satu tujuan pendirian Negara ini adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa?
Dengan argumentasi apapun, legislatif tidak elok memasuki wilayah dan ruang ekskutif. Saya tidak sependapat dengan sumber di DPRD yang menyatakan “sebagian besar angggota DPRD mengajukan proyek fisik melalui revisi KUA-PPAS”, sekalipun dengan argumentasi “anggota DPRD (selain FKNU dan FKN) merasa konstituen mereka tidak diperhatikan karena minim sekali proyek yang ditempatkan di tempat mereka”. (Radar Banyuwangi, 10/2/2011). Apalagi angkanya mencapai 7,8 M., sebuah angka fantastis untuk sekelas kita di Kabupaten Situbondo.
Kalau asumsi “minim proyek yang ditempatkan di tempat mereka” benar, bawa saja hasil jaring aspirasi masyarakat tersebut ke musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di beberapa level tingkatan. Musrenbang dilaksanakan pada level desa/kelurahan, kecamatan dan kabuupaten. Perjuangan yang dapat dilakukan oleh kawan-kawan legislatif sebatas memasukkan proyek yang diharapkan menjadi prioritas pembangunan. Biarkan ekskutiflah yang memutuskan, apakah proyek yang diharapkan tercantum dalam RAPBD atau tidak.
Toh, masyarakatlah nanti yang akan memberikan penilaian. Bukankah suara rakyat suara Tuhan, vox Populi vox Dei.

Penutup
Mudah-mudahan paradigma legislatif menjadi ekskutif tidak akan pernah terjadi. Legislatif dan ekskutif sudah memiliki ruang dan wilayah bekerja masing-masing yang diatur dengan perundang-undangan. Mari kita bekerja di ruang dan wilayah kita. Dan itu, akan menjadi catatan sejarah kita bersama. Gusti Allah ora sare.

 
;