Senin, 27 Agustus 2012 1 komentar

POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL




I.            PENDAHULUAN
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945, membawa implikasi dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga-lembaga tinggi Negara baru (Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah) serta menghapus Dewan Pertimbangan Agung. Perubahan UUD 1945 juga memangkas kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat, untuk selanjutnya disebut MPR. Pada masa sebelum Perubahan UUD 1945, MPR memiliki kewenangan untuk:
a.       Menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara.
b.      Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.
Sesudah Perubahan UUD 1945, kewenangan MPR meliputi:[1]
a.       Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b.      Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
c.       Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Implikasi lebih lanjut pemangkasan kewenangan MPR di atas, program pembangunan yang pada awalnya tertuang dalam garis-garis besar daripada haluan Negara tidak memperoleh tempat. Sebagai terobosan hukum, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutnya disebut UU SPPN. Sebagai tindak lanjut dari UU SPPN, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, untuk selanjutnya disebut UU RPJPN 2005 – 2025.
            Dalam UU RPJPN 2005 – 2025 terdapat beberapa bidang pembangunan, yaitu:
a.       Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama;
b.      Ekonomi;
c.       Ilmu Pengetahuan dan Teknologi;
d.      Sarana dan Prasarana
e.       Politik;
f.       Pertahanan dan Keamanan;
g.      Hukum dan Aparatur;
h.      Wilayah dan Tata Ruang; dan
i.        Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program Pembangunan Nasional bidang hukum, dinyatakan bahwa :[2]
Dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitt berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

Program pembangunan nasional di bidang hukum sebagaimana yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 – 2025 merupakan politik hukum pemerintah. Politik hukum pemerintah merupakan kebijakan pemerintah dalam melaksaanakan pembangunan di bidang hukum. Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan Negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan Negara.[3]
Makalah ini akan berupaya mengkaji apakah politik hukum pemerintah yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 – 2025 mencerminkan cita hukum bangsa dan Negara Indonesia.

II.            HAKEKAT POLITIK HUKUM
Sejauh pengetahuan penulis, sampai hari ini belum ada kata sepakat tentang hakekat politik hukum. Bahkan menurut Moh. Mahfud MD, membuat definisi tentang “politik hukum” sama tidak sederhananya dengan membuat definisi tentang “hukum” atau “sistem hukum”. Artinya ia agak sulit dirumuskan dalam satu rangkaian yang dapat memberikan pengertian yang utuh tentang apa yang sebenarnya didefinisikan.[4]
Namun demikian, ada sejumlah ahli pernah mengemukakan definisi tentang politik hukum. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa studi politik hukum memberikan jawaban atas pertanyaan:[5]
1.      Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada? Tujuan ini bisa berupa satu tujuan besar yang tunggal, bisa juga dipecah-pecah ke dalam tujuan-tujuan yang lebih spesifik menurut bidang, seperti ekonomi, sosial, yang kemudian masih dipecah-pecah ke dalam tujuan yang lebih kecil lagi.
2.      Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut? Termasuk di dalamnya persoalan pemilihan antara hukum tertulis atau tidak tertulis, antara sentralisasi dan desentralisasi.
3.      Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaiman perubahan itu sebaiknya dilakukan?
4.      Dapatkah dirumuskan suatu pula yang mapan yang bisa memutuskan kita dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut? Termasuk di dalamnya proses untuk memperbaharui hukum secara efisien: dengan perubahan total?, dengan perubahan bagian demi bagian.

Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[6] Definisi ini mencakup hukum positif (ius constitutum) dan hukum yang akan ditetapkan kemudian (ius constituendum).
Agak berbeda dengan TM. Radhie, Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.[7]
Solly Lubis berpendapat bahwa politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[8]
Sedangkan Sudarto berpendapat bahwa politik hukum merupakan kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[9]
Dari berbagai pendapat tentang definisi politik hukum, penulis berkesimpulan bahwa politik hukum adalah kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga Negara yang berwenang untuk mengarahkan peraturan perundangan yang akan dibangun yang diarahkan guna mencapai tujuan bangsa dan Negara.


III.            PROGRAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG HUKUM
III. 1. Dasar Pertimbangan
Konsiderans menimbang UU RPJPN 2005 - 2025 menyatakan bahwa terdapat tiga argumentasi mengapa perlu diundangkan:[10]
a.       perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional;
b.      Indonesia memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945;
c.       Sebagai pelaksanaan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang ditetapkan dengan Undang-undang.
Dalam konsiderans mengingat huruf a di atas, lembaga yang berwenang menyusun undang-undang menyadari sepenuhnya bahwa telah terjadi pergeseran kewenangan pada MPR. MPR yang pada awalnya memiliki kewenangan untuk menetapkan GHBN, setelah perubahan UUD 1945 kewenangan tersebut dihapuskan. Dengan demikian tidak ada satu lembaga negarapun yang memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN.
Penghapusan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN memang dikehendaki oleh beberapa pihak. Hal ini tampak dari pembahasan perubahan UUD 1945. Dalam Rapat PAH I BP MPR tanggal 24 April 2001 yang dipimpin oleh Jacob Tobing, anggota Tim Ahli Affan Gafar menyatakan bahwa GBHN adalah merupakan platform partai yang memenangkan pemilu, yang seterusnya sangat ditentukan oleh platform calon Presiden yang memenangkan kursi Kepresidenan.[11]
Pendapat yang sama dikemukan oleh anggota Tim Ahli Maswadi Rauf pada Rapat  PAH I BP MPR ke-15 tanggal 15 Mei 2001. Maswadi perpendapat bahwa kita memang beranggapan tidak perlu GBHN. Karena itu menjadi wewenang Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga tidak diperlukan adanya bimbingan dari MPR RI, tidak diperlukan adanya tolok ukur dari MPR, sehingga Presiden itu nanti tidak bisa lagi dijatuhkan karena perbedaan policy, perbedaan pendapat dalam kebijakan antara MPR dengan Presiden.[12]
Pendapat yang sangat tajam dikemukakan oleh anggota Tim Ahli Ramlan Surbakti pada Rapat  PAH I BP MPR ke-19 tanggal 29 Mei 2001. Ramlan berpendapat bahwa MPR selama ini hanya bicara mengenai GBHN yang tingkatannya tingkat cita-cita. Sedangkan kalau kita bicara undang-undang atau APBN itu sudah jelas lebih operasional.[13]
Dari pendapat ketiga orang anggota Tim Ahli BP MPR di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum penghapusan kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN adalah dikehendaki oleh beberapa pihak tertentu.
Berkaitan dengan konsiderans menimbang huruf b, tujuan pendirian Negara Indonesia adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu:
a.       Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.      Memajukan kesejahteraan umum;
c.       Mencerdaskan kehidupan bangsa;
d.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mencapai tujuan pendirian negara Indonesia di atas, tentu tidak dapat diraih seketika. Oleh karena itu diperlukan tahapan-tahapan untuk mencapainya. Pada era pemerintahan Presiden Suharto hingga Presiden Megawati Sukarno Putri, menggunakan GBHN sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menggunakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, untuk selanjutya disebut UU SPPN,  sebagai dasar dalam melaksanakan pembangunan nasional. Selanjutnya UU RPJPN 2005 - 2025 merupakan amanat UU SPPN, oleh karena itulah UU SPPN menjadi salah satu konsiderans menimbang UU RPJPN 2005 - 2025 sebagaimana dimaksud dalam konsiderans menimbang huruf c.

III.2. Substansi Pembangunan Bidang Hukum
Dalam UU RPJPN 2005 - 2025, penulis mencatat bahwa pembangunan bidang hukum bukanlah mendapat prioritas utama, hal ini disebabkan oleh dua hal:
a.       Pembangunan bidang hukum ada pada urutan ketujuh, setelah bidang pertahanan kemanan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum bukanlah panglima dalam pembangunan nasional;
b.      Pembangunan bidang hukum digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat. Menurut hemat penulis, pembangunan bidang hukum lebih luas daripada pembangunan bidang aparatur. Pembangunan bidang hukum tidak hanya meliputi aparatur penegak hukum, tetapi meliputi juga hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan keaadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Sedangkan pembangunan bidang aparatur lebih dititikberatkan pada aparatur negara. Dengan demikian penggabungan antara pembangunan bidang hukum digabung dengan pembangunan bidang aparatur adalah tidak tepat.
Pembentuk UU RPJPN 2005 - 2025 beranggapan bahwa antara pembangunan bidang hukum dengan penerapan hukum. Hal ini tampak dari bidang garapan pembangunan hukum, meliputi:
a.       Pembangunan substansi hukum, yang ditindaklanjuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[14] Diharapkan dengan diundangkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan.
b.      Pembangunan struktur hukum, yang meliputi pembangunan aparatur pelaksana kekuasaan kehakiman. Lembaga-lembaga Negara yang disebut adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, sedangkan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak disebutkan.
c.       Pembangunan budaya hukum, dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang diarahkan untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.
Dalam kajian teoritis, bidang garapan pembangunan hukum di atas memandang hukum sebagai suatu sistem (legal system) yang memiliki komponen substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.[15]
I Nyoman Nurjaya mempertajam pendapat Lawrence M Friedman bahwa hukum sebagai suatu sistem (legal system) dipelajari sebagai produk budaya yang pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu:[16]
1.      Struktur hukum (structure of legal system) yang meliputi lembaga legislatif dan institusi penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan);
2.      Substansi hukum (substance of legal system) yang semua produk hukum berupa peraturan perundang-undangan; dan
3.      Budaya hukum masyarakat (legal culture) seperti nilai-nilai, ide, persepsi, pendapat, sikap keyakinan, dan perilaku, termasuk harapan-harapan masyarakat terhadap hukum.

Apa yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 - 2025 bidang pembangunan hukum di atas, lebih mengarah pada penerapan hukum. Penerapan hukum dan pembangunan hukum adalah berbeda. Berbeda dengan pekerjaan penerapan atau pelaksanaan hukum, maka pembangunan hukum ini menghadapkan kita kepada pemilihan-pemilihan. Hal ini disebabkan oleh struktur kehidupan sosial kita sendiri yang tidak lagi didasarkan pada tata nilai yang padu.[17] Hukum dapat berlaku secara efektif atau tidak akan sangat bergantung pada kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) masyarakat yang bersangkutan.[18] Oleh karena itu, pembangunan bidang hukum haruslah memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) yang hidup di dalam masyarakat. Tanpa memperhatikan hal-hal di atas, pembangunan bidang hukum akan menjadi sia-sia.

IV.            PENUTUP
Uraian pada bagian-bagian terdahulu memperlihatkan bahwa pembangunan bidang hukum yang tertuang dalam UU RPJPN 2005 - 2025 menyamakan antara penerapan hukum dengan pembangunan hukum yang seharusnya berbeda. Sebagai akibatnya, pembangunan bidang hukum terbatas pada apa yang disebut oleh Lawrence M Friedman sebagai komponen atau elemen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Agar pembangunan hukum berlaku efektif di masyarakat, pembentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kebiasaan (custom), tradisi (tradition), atau budaya hukum (legal culture) yang hidup di dalam masyarakat. Dengan demikian, pembangunan bidang hukum yang kita laksanakan akan dapat menuju cita-cita hukum nasional yang diidam-idamkan. Pada akhirnya, tujuan pendirian negara Indonesia dapat terwujud, yaitu tercapainya masyarakat yang adil dan makmur sejahtera.

V.            DAFTAR PUSTAKA
1.      Literatur:
Lawrence M Friedman, The Legal System A Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, 1975.

M Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003.

Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

­­­__________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

__________, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

__________, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandmen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

__________, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Bandung, 2009.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.



2.      Makalah:

I Nyoman Nurjaya, Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Ke-2 Membangun Kembali Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 16-19 Juli 2002 di Universitas Udayana, Bali.

3.      Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan









[1] Vide Pasal 3 UUD 1945
[2] Vide Lampiran UU RPJPN 2005-2025 huruf  G, Hukum dan Aparatur
[3] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 15-16. Bandingkan pendapat Moh. Mahfud MD yang menyatakan bahwa Politik Hukum adalah arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Lihat Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandmen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 49. Bandingkan pula dengan pendapat Moh. Mahfud MD yang menyatakan bahwa politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, h. 1-2.
[4] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, h. 29.
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 352-353.
[6] Teuku Mohammad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, majalah Prisma No. 6 Tahun II Desember 1973, h. 3 dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 13.
[7] Padmo Wahjono, Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, h. 160 dalam Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 13.
[8] Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, h. 49 dalam M Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, h. 13.
[9] Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat:Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 16 dalam M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana dalam Rangka Perlindungan Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia Publishing, Malang, 2003, h. 14.
[10] Vide Konsiderans Menimbang UU RPJPN 2005 – 2025.
[11] Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku III Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Jilid 1, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, h. 326.
[12] Ibid., h. 340-341.
[13] Ibid., h. 346-347.
[14] Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[15] Lawrence M Friedman, The Legal System A.Social Science Perspektive, Russel Sage Foundation, New York, 1975, h. 13-16.
[16] I Nyoman Nurjaya, Reorientasi Tujuan dan Peran Hukum dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Ke-2 Membangun Kembali Indonesia yang Berbhinneka Tunggal Ika Menuju Masyarakat Multikultural, diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tanggal 16-19 Juli 2002 di Universitas Udayana, Bali, h. 107.
[17] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Genta Publishing, Bandung, 2009, h. 203.
[18] I Nyoman Nurjaya, loc.cit.

 
;