1.
PENDAHULUAN
Salah satu produk
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk
selanjutnya disebut UUD 1945, adalah ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan di atas, Indonesia harus memiliki
elemen-elemen sebagai Negara hukum. A Mukthie Fadjar mencatat ada tujuh elemen
Negara hukum:[1]
1.
Asas
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2.
Asas
legalitas;
3.
Asas
pembagian kekuasaan Negara;
4.
Asas
peradilan yang bebas dan tidak memihak;
5.
Asas
kedaulatan rakyat;
6.
Asas
demokrasi; dan
7. Asas
konstitusional.
Asas pengakuan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia bermakna menjamin bahwa hak asasi yang
dirumuskan juga dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Asas legalitas
bermakna Negara yang diperintah oleh hukum bukan oleh orang-per orang. Asas
pembagian kekuasaan Negara bermakna kekuasaan legislatif dipegang oleh organ
legislatif, kekuasaan eksekutif oleh organ eksekutif, dan kekuasaan yudikatif
oleh organ yudikatif. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak bermakna
hakim tidak bisa bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, hakim
terikat oleh hukum. Asas kedaulatan rakyat bermakna kedaulatan ada di tangan
rakyat. Asas demokrasi bermakna pemerintahan yang bersendikan perwakilan
rakyat, yang kekuasaan dan wewenangnya berasal dari rakyat dan dilaksanakan
melalui wakil-wakil rakyat serta bertanggung jawab penuh terhadap rakyat. Asas konstitusional
bermakna Negara yang pemerintahannya didasarkan sistem konstitusional.
Asas peradilan yang
bebas dan tidak memihak masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman. Politik hukum
kekuasaan kehakiman mengalami fluktuasi dari masa ke masa. Politik hukum pemerintah
kolonial Belanda membagi lima buah tatanan peradilan:[2]
a.
Tatanan
peradilan gubernemen, yang meliputi
seluruh daerah Hindia Belanda;
b.
Di
bagian-bagian Hindia Belanda, dimana rakyatnya dibiarkan menyelenggarakan
peradilannya sendiri, di samping hakim-hakim gubernemen terdapat juga
hakim-hakim peribumi, yang mengadili menurut tatanan peradilan pribumi;
c.
Di
dalam kebanyakan daerah swapraja di samping tatanan peradilan gubernemen
terdapat juga tatanan peradilan swapraja
itu sendiri (Zelfbestuurrechtspraak);
d.
Selanjutnya
terdapat tatanan peradilan agama.
Pengadilan agama terdapat, baik di bagian-bagian Hindia Belanda di mana
semata-mata ada peradilan gubernemen maupun di daerah-daerah di mana peradilan
agama merupakan bagian dari peradilan pribumi atau di dalam daerah-daerah
swapraja sebagai bagian dari peradilan swapraja itu;
e. Akhirnya
dalam kebanyakan daerah terdapat juga peradilan
desa di dalam masyarakat desa.
Pada era sesudah kemerdekaan, kekuasaan kehakiman
diatur dalam:[3]
a. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan
Agung;
b. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura;
c. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat
di Jawa dan Madura;
d. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan
Kejaksaan;
e. Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan
Sipil;
Selanjutnya kekuasaan kehakiman diatur Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
untuk selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman 1964. UU Kekuasaan Kehakiman
1964 memuat enam bab dan 31 pasal..UU Kekuasaan Kehakiman 1964 diantaranya
memuat ketentuan tentang:
a. Pengadilan
mengadili menurut hukum sebagai alat Revolusi berdasarkan Pancasila menuju
masyarakat Sosialis Indonesia.[4]
b. Peradilan
terbagi menjadi empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.[5]
c. Hakim
memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dengan mengintegrasikan dari dalam masyarakat guna benar-benar
mewujudkan fungsi hukum sebagai pengayoman.[6]
UU Kekuasaan Kehakiman 1964 dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman, untuk selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman 1970. Beberapa
ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman 1970 diantaranya mengatur tentang:
a. kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.[7]
b. Peradilan
terbagi menjadi empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.[8]
c. Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.[9]
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman mengubah
beberapa pasal yang ada dalam UU Kekuasaan Kehakiman 1970. Beberapa perubahan
tersebut berkaitan dengan organisasi, administrasi dan finansial dalam lembaga
peradilan dialihkan ke Mahkamah Agung.
UU Kekuasaan Kehakiman
1970 beserta perubahannya telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, untuk selanjutnya disebut UU
Kekuasaan Kehakiman 2004. Beberapa ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman 2004
diantaranya mengatur tentang:
a. Kekuasan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia;[10]
b. Badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha Negara;[11]
c. Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.[12]
UU Kekuasaan Kehakiman
2004 pun mengalami nasib yang sama dengan UU Kekuasaan Kehakiman sebelumnya. UU
Kekuasaan Kehakiman 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, untuk
selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman 2009. Beberapa ketentuan dalam UU
Kekuasaan Kehakiman 2009 diantaranya mengatur tentang:
a. Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.[13]
b. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.[14]
c. Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[15]
UU Kekuasaan Kehakiman mengalami perubahan beberapa
kali sebagaimana diuraikan di muka, menunjukkan bahwa politik hukum kekuasaan
kehakiman mengalami pasang surut sesuai dengan jamannya. Studi ini berupaya
merekonstruksi politik hukum kekuasaan kehakiman berdasarkan UU Kekuasaan
Kehakiman 2009.
2. KEKUASAAN KEHAKIMAN ADALAH
KEKUASAAN NEGARA YANG MERDEKA
Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman 2009
menyebutkan bahwa yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia
Menurut Bagir Manan, kekuasaan kehakiman yang
merdeka adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan atau fungsi yustisial
yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan
kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.[16]
Bagir Manan juga berpendapat bahwa beberapa
substansi kekuasan kehakiman yang merdeka, yaitu:[17]
(1)
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan peradilan atau
fungsi yustisial yang meliputi kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara
atau sengketa dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum.
(2)
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai
kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum yang
dibuat.
(3)
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur dan
tidak memihak.
(4)
Pengawasan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum,
baik upaya hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan
kehakiman sendiri.
(5)
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di
luar kekuasaan kehakiman.
(6)
Semua
tindakan terhadap hakim semata-mata dilakukan menurut undang-undang.
Efik Yusdiansyah berpendapat bahwa tujuan dasar dari
kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah:[18]
(1)
Sebagai
bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan diantara badan-badan
penyelenggara negara, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin
dan melindungi kebebasan individu.
(2)
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerntah
bertindak dengan kekerasan atau tidak semena-mena dan menindas.
(3)
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan
pemerintahan atau suatu peraturan perundang-undangan sehingga sistem hukum
dapat dijalankan ditegakkan.
(4)
Kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur atau
netral (imparsiality) dari hakim
dalam memutus suatu perkara.
Dari pengertian Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan
Kehakiman dan pendapat di atas, politik hukum yang dapat dicatat adalah bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka. Berarti bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri, yang tidak dapat diintervensi oleh
lembaga atau pihak manapun. Intervensi yang dimaksud berasal dari legislatif
maupun ekskutif.
3. KEKUASAAN KEHAKIMAN MENEGAKKAN
HUKUM DAN KEADILAN
Kekuasaan kehakiman menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Substansi menegakkan hukum dan keadilan, berarti
bahwa hukum dan keadilan harus ditegakkan secara bersama-sama. Hukum bermakna
peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan konskuensi logis Indonesia
sebagai Negara hukum. Semua tindakan warga Negara maupun penyelenggara Negara
harus didasarkan atas hukum. Dengan demikian, setiap putusan hakim haruslah
menegakkan hukum.
Berkaitan dengan menegakkan keadilan, tujuan hukum
memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya,
hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya sedapat
mungkin merupakan resultante dari
ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat diantara ketiga
tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada
yang berpendapat merupakan tujuan hukum satu-satunya.[19]
Bismar Siregar mengatakan, “Bila untuk menegakkan
keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum
hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Mengapa tujuan dikorbankan
karena sarana?”[20]
Dengan demikian, tampak bahwa tujuan
hukum adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun bilamana tidak
dapat mengakomodasikan ketiganya, maka keadilanlah yang harus diutamakan.
4. KEKUASAAN KEHAKIMAN BERDASARKAN
PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DEMI TERSELENGGARANYA NEGARA HUKUM
INDONESIA
Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila itu menjadi
dasar falsafah Negara yang melahirkan cita hukum (rechtside) dan dasar sistem hukum tersendiri sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar Negara menjadi sumber dari
segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan
perundang-undangan termasuk Undang-Undang Dasar. Dalam kedudukannya yang
demikian, Pembukaan UUD dan Pancasila yang dikandungnya menjadi staatsfundamentalnorms atau pokok-pokok
kaidah-kaidah Negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan
hukum, kecuali perubahan mau dilakukan terhadap identitas Indonesia dari
aslinya yang dilahirkan pada tahun 1945.[21]
Mengingat
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Indonesia, maka
seluruh kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan haruslah berdasarkan atas
Pancasila, termasuk kekuasaan kehakiman.Pancasila haruslah menjiwai perilaku
hakim dan putusan hukum yang diambilnya. Oleh karena itu, putusan pengadilan
selalu diawali dengan ‘DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
UUD
1945 merupakan hukum tertinggi dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyebutkan jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan
Pemerintah;
e. Peraturan
Presiden;
f. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan
Daerah Kabupaten Kota.
Oleh karena itu, menjadi logis bilamana
Pancasila dan UUD 1945 menjadi dasar dalam melaksanakan peradilan.
Hasil
akhir yang merupakan tujuan dari kekuasaan kehakiman adalah demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Negara hukum yang dimaksud
adalah bukan Negara hukum menurut Eropa Kontinental maupun Negara hukum menurut
Anglo Saxon, tetapi Negara Hukum Pancasila.
Philipus M. Hadjon
berpendapat bahwa elemen-elemen penting dari hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila
adalah:[22]
(1) Keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
(2) Hubungan
fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara.
(3) Penyelesaian
sengketa secara musyawara dan peradilan sebagai sarana terakhir.
Moh. Mahfud MD lebih
menekankan pada bekerjanya konsepsi Negara hukum Pancasila. Konsepsi Negara
Hukum Pancasila yang lebih menekankan pentingnya penegakan keadilan dari pada
penegakan hukum dalam artinya yang formal semata. Di dalam konsepsi ini
ditekankan bahwa dalam perjuangan menegakkan HAM ada juga kewajiban kewajiban,
seperti tidak boleh sewenang-wenang, menghormati hak orang lain, memindahkan
kepentingan umum, menjaga keselamatan bangsa, menjaga moral, dan tahanan
nasional.[23]
5.
PENUTUP
Dari paparan yang telah
diuraikan sebelumnya, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa politik hukum kekuasaan
kehakiman adalah: kekuasaan negara yang merdeka, menegakkan hukum dan keadilan,
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi terselenggaranya negara
hukum Indonesia.
Dengan demikian tujuan akhir dari kekuasaan
kehakiman adalah terselenggaranya Negara Hukum Indonesia.Negara Hukum Indonesia
yang dicita-citakan adalah Negara Hukum Pancasila, bukan Negara hukum menurut
Eropa Kontinental mapun Anglo Saxon.
6.
DAFTAR
PUSTAKA
a.
Literatur:
A
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2004.
A
Muhammad Asrun, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soehart, Elsam,
Jakarta, 2004.
Abdul
Latif, Fungsi Mahkamah Konstitsi Dalam Upaya Menyiapkan Negara Hukum Demokrasi,
Total Media, Yogyakarta, 2007
Ahmad
Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2012.
Boy
Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 2012.
Charles
Himawan, Hukum Sebagai Panglima, Kompas, Jakarta,
2003
Efik
Yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum Nasional
dalam Kerangka Negara Hukum, Lubuk Agung, Bandung, 2010.
Iriyanto
A Baso Ence, Negara Hukum Dan Hak Uji Konstitusional Mahkamah Konstitusi,
Alumni, Bandung, 2008.
Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara
Baru, Jakarta, 1985
Moh.Mahfud
MD., Perdebatan
Hukum Tata Negara Pascamandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta,
2010.
_____,
Membangun
Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
_____,
Pergulatan
Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999
Muhammad
Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madihan Dan Masa Kini,
Kencana Prenada Media Gorup, Jakarta, 2007.
Philupus
M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987.
R
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya
Paramita, 2002.
Satjipto
Rahardjo, Penegakan HukumSuatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009.
_____,
Membedah
Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006
Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses
dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002 Buku VI Kekuasaan Kehakiman,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.
b.
Perundang-Undangan:
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan
Agung.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat
di Jawa dan Madura.
Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan
Kejaksaan.
Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan
Sipil.
Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1]A
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm.
40-81.
[2] R
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya
Paramita, 2002, hlm. 36.
[3]
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses
dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002 Buku VI Kekuasaan Kehakiman,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm.
12 – 31.
[4]Vide Pasal
3 UU Kekuasaan Kehakiman 1964.
[5]Vide Pasal
7 ayat (1) UUKekuasaan Kehakiman 1964.
[6]Vide Pasal
29 ayat (1) UUKekuasaan Kehakiman 1964.
[7]
Vide Pasal 1 UU Kekuasaan Kehakiman 1970.
[8]
Vide Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 1970
[9]
Vide Pasal 27 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 1970
[10]
Vide Pasal 1 UU Kekuasaan Kehakiman 2004.
[11]
Vide Pasal 10 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman 2004.
[12]
Vide Pasal 28 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 2004.
[13]
Vide Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman 2009.
[14]
Vide Pasal 18 UU Kekuasaan Kehakiman 2009.
[15]
Vide Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman 2009.
[16]
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 2004,
Fakultas Hukum UII Press, Jakarta, 2007, hal. 30 dalam Boy Nurdin, Kedudukan
dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 2012, hal. 181.
[17]
Bagir Manan, Suatu Tinjauan terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkmah Agung RI, Jakarta, 2005, hal.
25-26 dalam Efik Yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi
terhadap Pembentukan Hukum Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Lubuk
Agung, Bandung, 2010, hal. 32.
[18]Efik
Yusdiansyah, Implikasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap Pembentukan Hukum
Nasional dalam Kerangka Negara Hukum, Lubuk Agung, Bandung, 2010, hal.
34.
[19]Ibid.,
hal. 60.
[20]Ibid.
[21]Moh.
Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara Pascamandemen Konstitusi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hal. 4.
[22]
Philupus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hal. 83-98.
[23]Moh.
Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hal.192.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar