Rabu, 21 September 2011 0 komentar

S3

Oleh: Winasis Yulianto*

Dulu, sewaktu saya menempuh pendidikan magister ilmu hukum di Universitas Airlangga Surabaya tahun sembilan puluhan, teman-teman saya memberi singkatan S3 adalah setiap sabtu setor. Itu artinya, setiap hari Sabtu pulang ke rumah untuk bertemu keluarga atau kekasih. Jarak dekat atau jauh tidak pernah terpikir, yang penting bertemu dengan orang-orang yang dicintai dan dikasihi.
Sebagai seorang akademisi, pendidikan S3 atau setara dengan program doktor merupakan suatu keharusan, walaupun sampai saat ini saya belum pernah mengikuti pendidikan S3. Kalau toh suatu saat saya harus menempuh pendidikan S3, itu bukan untuk gaya-gayaan, tetapi memang suatu keharusan. Syarat menjadi guru besar (profesor) pun harus memiliki jenjang pendidikan S3. Mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi saya harus berusaha mengikuti pendidikan S3 secepatnya.
Beberapa hari lalu, saya minta waktu bertemu dengan seorang yang saya anggap sebagai kawan, saudara, senior dan panutan. Pertemuan sesaat yang kurang dari satu jam itu begitu bermakna. Banyak hal yang kami diskusikan, tidak hanya skala lokal Situbondo, tetapi juga skala nasional. Begitu mengasyikkan pembicaraan saat itu.
Senior saya bercerita kalau ia lagi mengikuti pendidikan S3 bidang ilmu hukum di sebuah universitas negeri di provinsi tetangga. Komentar pendek saya, “Bagus sekali itu, ndan, begitu saya biasa memanggilnya. Gagasan apa yang akan ditulis dalam disertasi nanti”, begitu pertanyaan yang saya ajukan setiap kali bertemu seorang kawan yang sedang mengikuti pendidikan doktor.
Saya terkaget-kaget ketika senior saya itu balik bertanya, “Menurut pak Win, apa yang mudah ditulis dalam disertasi, sehingga cepat selesai kuliah S3 saya”. Kami lantas diskusi panjang tentang Indonesia sebagai Negara Hukum. Dari literatur yang pernah saya baca, negara hukum itu harus memenuhi paling tidak 3 (tiga) persyaratan mendasar: pertama, adanya pemisahan kekuasaan aantara ekskutif, legislatif dan yudikatif. Kedua, adanya pengakuan hak asasi manusia dan ketiga adanya peradilan yang bebas. Pertanyaan kita, apakah Indonesia adalah Negara hukum. Secara normatif ya, karena peraturan perundang-undangan kita, mulai konstitusi hingga peraturan terendah, mengamanatkan Indonesia adalah Negara hukum. Bagaimana secara empirik, masih debatable.
Kuncinya sekarang, bagaimana politik hukum pemerintah untuk mewujudkan Negara hukum, baik secara normatif maupun secara empirik. Langkah ini tidak sekedar memerlukan pemikiran para pendekar Hukum Tata Negara, tetapi perlu kerja keras bersama antara masyarakat dan pemerintah.
Diskusipun menjadi lebih menarik ketika kita pada kesimpulan bahwa satu lembar atau dua lembar pemikiran kita dapat dijadikan warna dalam penetapan politik hukum pemerintah. “Oleh karena itulah, saya ikut pendidikan doktor ilmu hukum”, begitu kata senior saya.
Terbayanglah sosok pembimbing saya pada saat menempuh Magister dulu, Prof. Dr. Abdoel Rasjid, SH., LLM. Di sela-sela kesibukan beliau dan tengah-tengah bimbingan tesis, beliau pernah bertanya pada saya, “Kon iku, pengen duwe gelar doktor disik, opo duwe pikiran doktor disik?” Pertanyaan yang sekalipun berupa pilihan, tak mudah bagi saya untuk menjawabnya. Konsekuensilah yang membuat saya sulit menjawab pertanyaan Prof. Rasjid di atas.
Kalau saya jawab ingin memiliki gelar doktor dulu, maka saya harus tinggal lebih lama di Surabaya. Apalagi badai krisis moneter melanda Indonesia saat itu, sedikit atau banyak, juga berimbas pada diri saya. Namun kalau saya menjawab ingin memiliki pemikiran doktor dulu, Indonesia memiliki karateristik formalistik, ijasah formal sangat diperlukan untuk menunjang bahwa kita benar-benar seorang doktor.

Disertasi
Tentu ada beda antara skripsi, tesis dan disertasi dalam bidang ilmu hukum. Gampangnya, skripsi adalah implemetatif perundang-undangan. Seorang mahasiswa S1 kalau akan menyelesaikan studinya, ia harus menulis skripsi. Implementasi perundang-undangan itu sebagai wilayahnya. Kita tidak boleh berharap banyak dari skripsi seorang mahasiswa, selain itu.
Tesis merupakan kewajiban mahasiswa dalam menyelesaikan studinya pada program magister (S2). Substansi tesis adalah pengembangan teori yang sudah ada. Mahasiswa diminta membaca teori-teori yang ada, selanjutnya memberikan komentar kelebihan atau kekurangan berbagai macam teori.
Dalam disertasi kita dapat berharap banyak, karena di situlah tempat penemuan teori baru. Jadi bukan persoalan mudah atau tidak mengikuti pendidikan S3. Kita benar-benar ditempa untuk memiliki pemikiran yang luar biasa. Pemikiran itu tidak hanya dalam kerangka menyelesaikan S3, tetapi akan dimanfaatkan untuk membangun Indonesia tercinta.
Ada sebuah anekdot, yang sering kali membuat telinga para akademisi kita menjadi merah. Syahdan, di bulan para astronot dari berbagai Negara bertemu. Astronot dari Amerika ditanya “how did you come here”. Sang Amerika menjawab, “Apolo 11”. Pertanyaan beralih ke astronot Rusia, dengan pertanyaan yang sama. Sang Rusia menjawab, “Soyuz”. Sang China menjawab, “Bambu”. Para astronot terkaget-kaget, “Kok bisa?”. “Ya, negeri kami kan kaya dengan bambo”, jawab Sang China dengan enteng. Pertanyaan terakhir ditanyakan ke astronot Indonesia. Astronot kita menjawab, “Saya ke bulan dengan mengendarai makalah, laporan penelitian, skripsi, tesis, bahkan disertasi”. Begitu banyaknya karya ilmiah yang kita buat, kalau ditumpuk sampai ke bulan. Namun angka kemiskinan tetap tinggi, angka partisipasi aktif masih rendah dan derajat kesehatan masih rendah. Lantas saya berpikir, apa yang salah dalam karya ilmiah yang saya sebut di atas. Metodenya yang salah, substansi pemikirannya yang salah atau teorinya yang salah.
Akhirnya saya ingin berpesan pada senior saya yang sedang menempuh S3, “Ndan, saya ingin disertasi panjenengan nanti implementatif. Sebuah karya besar yang akan membawa warna dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Disertasi itu yang saya harapkan akan membawa panjenengan menjadi orang berskala nasional. Masak sudah puas jadi orang regional, nggak kan.”
 
;