Minggu, 14 November 2010 1 komentar

STRATEGI MENARIK INVESTOR KE KABUPATEN SITUBONDO

STRATEGI MENARIK INVESTOR KE KABUPATEN SITUBONDO

Oleh: Winasis Yulianto*

 

Pendahuluan

            Pembangunan di daerah tidak selalu dapat ditangani sendiri oleh pemerintah daerah maupun masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dalam konteks seperti itu, pemerintah daerah memerlukan investasi dari dalam maupun dari luar negeri. Kedua model investasi tersebut akan mendorong mempercepat proses pembangunan yang dilaksanakan.

            Diundangkannya UU No. 32 Tahu 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka peluang yang cukup signifikasi bagi daerah dalam menarik investor. Masing-masing daerah memiliki seni yang berbeda untuk mempromosikan sumber daya yang dimilikinya. Semakin tinggi investor yang dapat ditarik, akan berpengaruh terhadap indeks pembangunan ekonomi di daerah yang bersangkutan.

            Kabupaten Situbondo sebagai salah satu daerah yang sedang giat melaksanakan pembangunan, juga berupaya keras menarik investor. Urusan Wajib Penanaman Modal pada tahun 2006 dilaksanakan oleh DISPERINDAGPAR dengan kegiatan antara lain Promosi Potensi Daerah dalam rangka menarik Investor untu menanamkan modalnya di Kabupaten Situbondo (Pemerintah Kabupaten Situbondo, 2007:44).

            Dalam menarik investor, Kabupaten Situbondo menghadapi berbagai kendala, diantaranya kurangnya informasi, promosi dan rumitnya perizinan untuk investor. Kendala-kendala ini merupakan tantangan bagi Pemerintah Kabupaten Situbondo yang memerlukan solusi, agar investor dapat tertarik menanamkan modalnya di Kabupaten Situbondo.

            Penulisan ini akan mencoba mencari kendala, dan selanjutnya memberikan solusi agar investor menjadikan Kabupaten Situbondo menjadi salah satu pilihan dalam menanamkan modalnya.

 

Permasalahan

            Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam menarik investor tentu memiliki hambatan- hambatan. Penulisan ini akan mencari jawab atas pertanyaan:

1.      Apakah hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam menarik investor?

2.      Bagaimanakah solusi yang diperlukan dalam menghadapi hambatan-hambatan tersebut?

 

Pembahasan

1.      Kurangnya Informasi

Pada tata ekonomi baru dunia seperti sekarang ini, berbagai informasi mengalir deras tanpa batas. Sekat negara hampir tidak ada karena teknologi informasi. Berbagai informasi dapat diakses dari belahan bumi manapun tanpa terbatas tempat dan waktu.

Faktor kesempatan sudah terbuka. Yang diperlukan kemudian adalah kemauan dan kemampuan untuk mengakses informasi tentang investasi. Pemerintah Kabupaten Situbondo perlu melatih staf khusus yang bertugas mengakses seluruh peluang investasi dari belahan bumi manapun.

Informasi investasi juga dapat diperoleh dari lembaga Negara maupun instansi provinsi yang menangani investasi. Pada tataran ini, Pemerintah Kabupaten Situbondo perlu melakukan kontak sesering mungkin dengan instansi dimaksud. Dalam hal diperlukan, Pemerintah Kabupaten Situbondo perlu “menanam” petugas khusus di instansi-intansi dimaksud guna memperoleh informasi yang cepat dan akurat tentang peluang investasi yang ada. Tentu, adagium “jer basuki mowo bea” tidak dapat ditinggalkan, untuk memperoleh kesejahteraan memerlukan beaya.

 

2.      Kurangnya promosi potensi

Potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Situbondo tidak kalah dengan potensi yang dimiliki oleh daerah lain. Kurangnya promosi potensi, berakibat kurang dikelolanya potensi yang dimiliki Kabupaten Situbondo bila dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu, menjadi tantangan bersama antara masyarakat dan pemerintah untuk terus melakukan promosi potensi.

Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur mengkualifikasikan peluang investasi di Kabupaten Situbondo menjadi sektor primer, sektor sekunder dan sektor tersier (www://bpmjatim.com/id/?page_id=167). Sektor primer terdiri dari: Pertanian tanaman pangan dan holtikultura (mangga dan anggur), perkebunan (kelapa, tebu, kopi, tembakau dan melinjo), peternakan (Sapi Potong, Kambing dan Sapi Kereman), perikanan, Pertambangan (gamping, Andesit (Batu Gunung), sirtu dan tras)

Pada Sektor Sekunder, peluang investasi meliputi:

a.       Industri makanan dan minuman meliputi pengolahan buah mangga, pengaengan ikan, indutri rokok Sistem Kretek Tangan (SKT)

b.      Industrianeka meliputi Industri pengolahan kulit kerang

c.       Industrikimia; Penyulingan minyak bumi

d.      Industrikayu meliputi Industri mebel kayu

Pada Sektor Tersier, peluang investasi meliputi:

a.       Perdagangan, meliputi Jasa perdagangan ekspor dan impor

b.      Pariwisata, meliputi:

• Pengembangan obyek wisata Pantai Pasir Putih

• Pengembangan obyek wisata Taman Nasional Baluran

Data potensi yang dipromosikan melalui badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur tersebut harus terus menerus diperbaharui dalam waktu tertentu. Media promosi harus terus dikembangkan, baik melalui website Pemerintah Kabupaten Situbondo  maupun media massa lain. Website Pemerintah Kabupaten Situbondo yang sering under construction tidak boleh lagi terjadi, karena peluang investasi tidak datang dua kali. Begitu kesempatan investasi hilang, maka sulit bagi Kabupaten Situbondo untuk memperoleh peluang itu kembali.

 

3.      Rumitnya pengurusan izin investasi

Pada awalnya, pengurusan izin investasi di Kabupaten Situbondo dikelola oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Diundangkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah membawa dampak penting bagi perangkat daerah di Kabupaten Situbondo. Dalam bidang perizinan, dialihkan kewenangannya kepada Kantor Pelayanan Terpadu. Problemnya adalah, apakah proses perizinan benar-benar beralih ke instansi baru hasil bentukan PP No. 41 Tahun 2007 tersebut.

Dalam praktek, menurut penulis, masih ada keenganan dari instansi lama untuk melepas kewenangan perizinan kepada instansi baru. Kondisi ini logis, mengingat perizinan merupakan pekerjaan “basah”, yang apabila dialihkan akan mengurangi pendapatan instansi lama. Penulis meyakini bahwa kondisi ini diketahui oleh petinggi pemerintah kabupaten, namun sejauh sekarang belum ada langkah taktis untuk mengakhiri kondisi ini.

Pemerintah Kabupaten Situbondo seharusnya mencanangkan one day service bagi pelayanan perizinan. Bilaman proses perizinan melebih satu hari, maka proses perizinan dibebaskan dari beaya. Program ini akan memacu instansi perizinan untuk bekerja secara efektif dan efisien karena dipacu target harus selesai dalam satu hari. Bagi investor yang mengurus perizinan, akan memperoleh manfaat yang besar dengan waktu yang singkat dalam mengurus perizinan. Otomatis, investor akan bergerak cepat dengan telah memperoleh izin untuk segara menanamkan modalnya di Kabupaten Situbondo.

 

Kesimpulan dan saran

            Hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Situbondo dalam menarik investor diantaranya meliputi:

1.      Kurangnya informasi tentang adanya investor yang akan menanamkan modalnya;

2.      Kurangnya promosi potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Situbondo;

3.      Rumitnya pengurusan izin investasi

Dari hambatan-hambatan yang ditemui pada kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1.      Pemerintah Kabupaten Situbondo harus terus menerus mengakses peluang investasi;

2.      Pemerintah Kabupaten Situbondo harus terus menerus melakukan promosi potensi yang dimiliki;

3.      Pemerintah Kabupaten Situbondo melakukan deregulasi investasi untuk mempermudah proses perizinan investasi.

 

Bahan Bacaan:

 

Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah Dan Peluang Investasi, disampaikan dalam ‘Government Conference’ tentang “Peluang Investasi dan Otonomi Daerah” yang diadakan di Jakarta, 29-30 September 2000.

 

Pemerintah Kabupaten Situbondo, Pidato Bupati Situbondo tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Tahun Anggaran 2006, Situbondo, Juli 2007.

 

 

Website:

APKASI, Pemberdayaan Investasi Daerah, Disajikan pada Seminar Tantangan Otonomi Daerah : Strategi Pemberdayaan Daya Saing Daerah, APKASI-Majalah Gatra- Paragon Communications, Ballroom Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 5-6 September 2001, http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=print &sid=101, diunduh hari Rabu tanggal 14 Oktober 2009 pukul 04.14 wib.

 

Badan Penanaman Modal Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Situbondo, http://bpmjatim.com/id/?page_id=167, diunduh hari Rabu tanggal 14 Oktober 2009 pukul 06.30 wib.



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

0 komentar

MENUNGGU KERJA SAMA KABUPATEN SITUBONDO DENGAN LUAR NEGERI

MENUNGGU KERJA SAMA KABUPATEN SITUBONDO DENGAN LUAR NEGERI

Oleh: Winasis Yulianto*

 

            Membaca sekilas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Situbondo dari tahun ke tahun, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Situbondo tidak pernah mengalami kenaikan yang signifikan. PAD Kabupaten Situbondo  ada di kisaran antara 20 sampai dengan 30 milyard rupiah per tahun. Upaya-upaya yang dilakukan guna meningkatkan PAD masih relatif tetap. Artinya, langkah-langkah yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan cenderung apa yang sudah ada, bukan langkah-langkah terobosan yang akan meningkatkan PAD secara signifikan.

            Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan Departemen Luar Negeri telah membuka kran kerjsa antara daerah dengan luar negeri. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU HLN), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU PI), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Peraturan Menteri Luar Negeri 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah (Permenlu) merupakan bukti nyata bahwa Pemerintah Pusat memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk memanfaatkan segala peluang guna meningkatkan PAD. Sebagai goal yang diharapkan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

            Ketika kran sudah dibuka, yang kita tunggu adalah keberanian daerah untuk memanfaatkan peluang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Daerah lain sudah berloma-lomba memanfaatkan peluang yang dimaksud, sister city alias kota kembar sebagai salah satu contoh. Jangan melihat Jakarta dan Surabaya yang sudah lama bekerja sama dalam bentuk sister city dengan Tokyo (Jepang) maupun Busan (Korea), tapi tengok Kota Madiun yang sudah berancang-ancang untuk bekerja sama dengan Daewoo (Korea) untuk tata ruang dan wilayah. Bagaimana dengan Kabupaten Situbondo, pernahkah kita berpikir untuk membuka kerja sama dengan negara lain?

            Tulisan ini akan mengajak pemegang kekuasaan dan masyarakat Kabupaten Situbondo untuk berkontemplasi apakah sudah waktunya kita membuka kerja sama dengan luar negeri. Tujuan kita satu, untuk lebih meningkatkan PAD yang selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Situbondo.

 

Langkah awal

            Sebagai langkah awal, kita harus mampu melihat potensi apa yang kita punya. Kita siapkan data base yang cukup, sehingga orang lain (baca: luar negeri) dapat membaca segala potensi yang kita miliki.

            Sebagai ide awal, potensi laut kita yang begitu hebat, harus kita tonjolkan ke depan. Panjang laut kita tidak kurang dari 150 km, ini memiliki potensi yang besar untuk digarap, yang sejauh sekarang kurang mendapat perhatian kita bersama. Mari kita bandingkan antara pendapatan dan belanja di bidang kelautan kita, sudahkah sebanding, ataukah masih terdapat perbandingan yang tidak seimbang antara pendapatan dan belanja. Sejauh yang saya ketahui, pendapatan dan belanja kita di bidang kelautan yang tertuang di APBD Kabupaten Situbondo belum berimbang, belanja kita lebih besar daripada pendapatan kita. Apa yang salah dalam pengelolaan wilayah laut kita, kita perlu terus mencari sebab musabab tanpa menuding kesalahan itu pada pihak-pihak tertentu.

            Kedua, bidang pendidikan. Kita harus mengakui secara jujur, sudah pada tingkat mana pendidikan masyarakat kita. Sudahkah masyarakat kita memiliki pendidikan yang cukup, berapa prosen masyarakat kita yang berpendidikan sekolah dasar, sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Kalau ternyata prosentase masyarakat kita lebih tinggi yang berpendidikan sekolah dasar, apa yang harus kita lakukan untuk menguranginya, yang secara otomatis meningkatkan prosentase pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.

            Cukupkah kita melakukannya sendirian ataukah kita memerlukan bantuan pihak lain dalam meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Situbondo. Perlukah kita melakukan tukar menukar murid, mahasiswa, guru maupun dosen-dosen kita dengan pihak luar negeri. Perlukah kita memperoleh pengalaman pengelolaan manajemen pendidikan dengan luar negeri. Perlukah kita memperoleh bantuan literatur mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi yang ada di Situbondo.

            Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kita bersama bahwa kita perlu terus mengetahui perkembangan dunia pendidikan. Goal yang kita harapkan satu, pendidikan di Kabupaten Situbondo tidak tertinggal dari daerah lain, lebih baik lagi tidak tertingal dari negara lain. Upaya ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan dengan langkah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang terus menerus meningkatkan mutu pendidikan. Pernahkah kita mengetahui bahwa Depdiknas membuat buku digital dari sekolah dasar hingga sekolah menengah umum?

            Ketiga, masalah kesehatan. Kita perlu dengan jujur mengukur derajat kesehatan masyarakat Kabupaten Situbondo. Apakah derajat kesehatan masyarakat kita buruk, sedang atau baik. Bagaimana dengan fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit, puskesmas, klinik atau apapun namanya yang penting fasilitas pelayanan kesehatan. Bagaimana dengan sumber daya manusia pelayan kesehatan masyarakat. Berapa orang dokter spesialis yang kita miliki, yang stand by di Kabupaten Situbondo selama 24 jam per hari, 30 hari per bulan.

            Demikian pula rumah sakit kita. Rumah sakit kita sekarang pada posisi tipe apa. Sudahkah kita berancang-ancang untuk meningkatkan tipe rumah sakit kita. Apakah sarana dan prasarana yang kita miliki sudah mencukupi dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Apakah tenaga medis dan paramedis sudah memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat, termasuk masyarakat kurang sejahtera (baca: miskin).

            Tiga bidang tersebut, kelautan, pendidikan dan kesehatan adalah langkah awal yang dapat kita jadikan pilot project dalam bekerja sama dengan luar negeri. Kalau itu yang disepakati, kita perlu segera menyiapkan langkah-langkah awal. Tidak ada sesuatu yang terlambat untuk memulai hal-hal yang baik.

 

Lantas bagaimana

            Langkah pertama yang harus kita lakukan, adalah melakukan pembicaraan dengan DPRD Kabupaten Situondo tentang rencana bekerja sama dengan luar negeri. Kita sangat berharap DPRD menyetujui langkah kita untuk melakukan kerja sama dengan luar negeri. Spesifikasi apa yang akan menjadi fokus kerja sama, akan ditentukan dalam pembahasan bersama antara Pemerintah Kabupaten dengan DPRD.

            Dalam pembahasan dengan DPRD, perlu juga diputuskan dengan kota negara mana kita akan bekerja sama. Sebagai pertimbangan, kita perlu mengetahui geografis dan karakter kota yang akan menjadi partner kerja sama kita.

            Kabupaten Situbondo adalah wilayah yang sebagian besar pada wilayah pantai. Dalam bidang kelautan, kita harus memilih kota di luar negeri yang memiliki geografis dan topografis yang sama dengan Kabupaten Situbondo. Dinas terkait tentu memiliki data berkaitan dengan itu. Demikian pula bidang pendidikan dan kesehatan, kita harus memiliki pertimbangan yang matang dalam menentukan kota di luar negeri yang akan kita gandeng bekerja sama.

            Bilamana telah tercapai kesepakatan dengan DPRD, Pemerintah Kabupaten segera mengkonsultasikan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Selanjutnya, tentu dikonsultasikan dengan Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan Departemen Luar Negeri.

 

Model kerja sama

            Sepengetahuan saya, ada beberapa model kerja sama. Pertama, daerah melakukan kontak langsung dengan kota di luar negeri yang akan digandeng bekerja sama. Bilamana kesepakatan tercapai, masing-masing akan melaporkan kepada Pemerintah Pusatnya. Laporan daerah ke Pemerintah Pusat ini merupakan bentuk pengawasan Pemerintah Pusat kepada daerah.

            Model kedua, kota di luar negeri melakukan kontak dengan daerah untuk diajak bekerja sama. Bila masing-masing pihak menyetujui rencana kerja sama, masing-masing melaporkan ke Pemerintah Pusatnya. Namun model ini jarang sekali terjadi, apalagi bilamana daerah kurang (baca: tidak) melakukan promosi tentang potensinya sehingga menarik kota di luar negeri untuk mengajak bekerja sama. Oleh karena itu, website memiliki peran yang cukup besar untuk mempromosikan daerah.

            Model ketiga, daerah meminta kepada Pemerintah Pusat untuk mencarikan kerja sama dengan kota di luar negeri. Pemerintah Pusatlah yang aktif mencarikan pihak yang akan diajak kerja sama. Oleh karena itu, komunikasi antara daerah dengan Pemerintah Pusat harus intens, sehingga akan terwujud kerja sama antara daerah dengan luar negeri.

            Model keempat, Pemerintah Pusat mendapat tawaran kerja sama dari kota di luar negeri yang selanjutnya Pemerintah Pusat akan memilih daerah tertentu untuk mewujudkan tawaran kerja sama. Keaktifan daerah menanyakan kepada Pemerintah Pusat adanya kesempatan kerja sama dengan kota di luar negeri merupakan kunci terwujudnya kerja sama.

            Dari berbagai model yang ada, Kabupaten Situbondo akan dapat mengukur diri, lewat pintu mana akan melakukan kerja sama. Model pertama, kedua, ketiga ataukah keempat yang akan dipilih, kita tunggu implementasinya.

 

Penutup

            Masih berapa lama lagi kita harus menunggu terwujudnya kerja sama antara Kabupaten Situbondo dengan luar negeri. Mudah-mudahan, kalimat “government knows better” tidak tergantikan dengan kalimat “individual knows better”. Semoga.

 



* Lektor Kepala mata kuliah Hukum Internasional pada FH Univ. Abdurachman Saleh Situbondo, tinggal di Perum Villa Situbondo Indah Blok C-15 Situbondo

 

0 komentar

KEKUATAN FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN MKRI

KEKUATAN FINAL DAN MENGIKAT PUTUSAN MKRI

Oleh: Winasis Yulianto*

 

 

PENDAHULUAN

            Perjalanan panjang pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada) Kabupaten Situbondo Tahun 2010, tampaknya masih panjang dan berliku. Belum ada tanda-tanda berakhir, dengan dilantiknya Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Situbondo sebagai hasil pemilukada tahun 2010 tersebut, sementara masa jabatan Bupati periode sebelumnya berakhir pada hari Rabu tanggal 11 Agustus 2010. Akibat belum dilantiknya Bupati baru, otomatis Kabupaten Situbondo akan mengalami kekosongan pemerintahan. Untuk menghindari kekosongan pemerintahan tersebut, Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur telah menunjuk seorang pelaksana tugas (Plt) Bupati Situbondo. (Radar Situbondo, 12/08/2010)

            Pertanyaan hukum yang dapat kita ajukan adalah, apakah putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor 70/PHPU.D-VIII/2010 tidak cukup ampuh dalam menyelesaikan pilkada Kabupaten Situbondo Tahun 2010. Benarkah putusan MKRI bersifat final dan mengikat sebagaimana diamanahkah oleh Pasal 13 ayat (4) Peraturan MKRI Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMKRI)

            Penulis juga akan merunut ketentuan perundang-undangan dalam pemilukada, mulai dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hingga Peraturan KPU. Dari berbagai ketentuan di atas, akhirnya kita akan mengetahui apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilukada hingga DPRD di Kabupaten Situbondo.

            Penulisan ini tidak hendak ikut campur tangan, tetapi mengingatkan kembali yang menjadi kewajiban konstitusional kita bersama. Mudahan-mudahan tulisan ini menggugah hati dan pikiran kita, kepentingan masyarakat banyak (baca: Situbondo) harus lebih kita kedepankan dari hal-hal lain.

 

PUTUSAN MKRI

            Tanggal 28 Juni 2010, KPUD Situbondo melaksanakan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara hasil pemilukada tahun 2010. Dari hasil rekapitulasi, diketahui bahwa pasangan nomor urut 4, H. Dadang Wigiarto, SH dan Rachmad, SH., M.Hum, mengungguli pasangan calon lain. Tidak puas dengan hasil rekapitulasi tersebut, pasangan calon nomor urut 5, Drs. Sofwan Hadi, M.Si dan Sukarso, SE, dan pasangan calon nomor urut 1, Drs. H. Hadariyanto, MM dan H. Basoenondo, MM, mengajukan gugatan ke MKRI.

Berbagai pernak pernik persidangan terjadi hingga MKRI menetapkan putusan “Permohonan Pemohon tidak dapat diterima” karena objek permohonan Pemohon salah. Putusan MKRI tersebut dibacakan pada hari Selasa tanggal 3 Agustus 2010. Delapan dari sembilan orang hakim MKRI hadir dalam pembacaan putusan di atas, dan tak satupun hakim mengajukan dissenting opinion. Ini menunjukkan bahwa para hakim MKRI sepakat bahwa permohonan tidak dapat diterima.

Tidak hadirnya seorang hakim MKRI pada saat sidang pembacaan putusan tidak mempengaruhi keabsahan putusan. Pasal 13 ayat (2) PMKRI menyatakan bahwa “Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi.” Dengan demikian, ketentuan Pasal 13 ayat (4) PMKRI yang menyatakan bahwa “putusan MKRI bersifat final dan mengikat” berlaku dalam sengketa hasil pemilukada Kabupaten Situbondo Tahun 2010.

Ketika seorang anggota tim kampanye pasangan calon nomor urut 5 berkomentar masih ada celah hukum terhadap putusan MKRI, penulis tidak sepakat dengan pernyataan tersebut. Sebagai orang yang banyak belajar tentang hukum tata negara, penulis tidak menemukan celah hukum yang dapat dilakukan, mengingat putusan MKRI bersifat final dan mengikat. Kalimat “final dan mengikat” mengandung makna tidak ada upaya hukum lain selain harus mematuhi putusan yang telah diambil oleh MKRI.

Kepatuhan kita terhadap putusan MKRI sedang diuji disini. Apakah kita sebagai warga yang patuh akan hukum, ataukah kita masih akan menafsirkan sebuah putusan yang jelas, tegas dan tidak lagi memerlukan tafsir hukum. Jawaban atas pertanyaan itu tidak perlu dengan melakukan press release, tetapi cukuplah disikapi dengan perbuatan nyata.

 

LANGKAH BERIKUTNYA

            Berdasarkan hasil putusan MKRI di atas, KPUD memiliki kewajiban untuk melaporkan kepada DPRD paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima salinan putusan. (Vide Peraturan KPU Nomor 73 Tahun 2009). Sudahkah kewajiban konstitusional KPUD ini dilaksanakan? Penulis merasa yakin bahwa KPUD tidak berani tidak melaksanakan kewajiban konstitusional ini. Logika pikir penulis, yang mengacu pada Pasal 22 ayat (5) UUD 1945, KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum bersifat “nasional, tetap dan mandiri”.

            Bilamana logika penulis benar, berarti DPRD lah yang saat ini memiliki kewajiban konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur selambat-lambatnya 3 (tiga) hari. Ambang batas waktu 3 (tiga) hari ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta dalam Peraturan KPU Nomor 73 Tahun 2009.

            Penulis sangat memahami bahwa untuk pengusulan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih terikat pada mekanisme internal DPRD, yaitu tata tertib. Salah satu mekanisme internal yang harus dilalui adalah rapat paripurna DPRD yang khusus membahas pengusulan di atas. Untuk sahnya rapat paripurna, harus memenuhi sejumlah quorum tertentu. Sejauh pengetahuan penulis, DPRD baru satu kali melaksanakan rapat paripurna untuk membahas pengusulan, namun tidak tercapai quorum. Menjadi kewajiban konstitusional DPRD lah mengagendakan kembali rapat paripurna secepatnya.

            Sebagai lembaga yang sangat memahami konstitusi, DPRD akan sangat bersifat arif dan bijak dalam mematuhi perundang-undangan. DPRD tentu akan lebih mengedepankan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya daripada mengedepankan kepentingan-kepentingan politik sesaat.

            Bilamana kewajiban konstitusional mengusulkan pasangan calon Bupati/Wakil Bupati terpilih kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur Jawa Timur sudah dilakukan, maka lunaslah kewajiban DPRD. Proses berikutnya yang ada di tangan Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, bukan lagi menjadi otoritas DPRD.

 

PENUTUP

            Tinta emas, perak ataukah perunggu yang akan kita torehkan, tergantung apa yang akan kita perbuat. Kita akan dicatat sebagai orang yang patuh terhadap konstitusi atau tidak, itu tergantung pada sikap kita melaksanakan putusan MKRI dan perundang-undangan atau tidak. Jadi, kenapa kita tidak bergegas mulai sekarang.

 

           

           



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Tetap dan Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo.

1 komentar

KEBUTUHAN TENAGA AHLI DPRD

KEBUTUHAN TENAGA AHLI DPRD

Oleh: Winasis Yulianto*

 

            Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendahului apa yang diamanatkan oleh UU No. 27 Tahun 2009 kepada pemerintah untuk menetapkan peraturan pelaksanaan (baca: peraturan pemerintah) paling lambat satu tahun sejak diundangkan. Tulisan ini juga tidak dimaksudkan untuk menggurui kawan-kawan yang duduk di kursi DPRD. Tulisan ini merupakan ajakan penulis untuk bersama-sama melakukan kontemplasi, agar pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang menjadi lebih optimal.

            Penulis menyadari betul bahwa kawan-kawan yang duduk di kursi DPRD memiliki pengetahuan dan kemampuan yang tidak diragukan lagi. Apalagi setiap partai politik juga telah memberikan pembekalan kepada setiap anggotanya yang duduk di kursi DPRD sebelum pelantikan dilaksanakan. Dengan dua alat ukur tersebut, setiap anggota DPRD telah siap dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya.

 

Peristilahan

            Secara normatif, belum ada kesamaan penyebutan terhadap tenaga ahli. Dalam UU No. 27 Tahun 2009 memberikan istilah yang tidak sama, Pasal 301 ayat (10) dan Pasal 352 ayat (10) menyebutnya dengan tenaga ahli, sedangkan Pasal 397 dan Pasal 399 menyebutnya dengan kelompok pakar atau tim ahli (KPTA). Istilah tenaga ahli juga dipergunakan dalam PP No. 41 Tahun 2007 maupun Permendagri No. 57 Tahun 2007. Perbedaan penyebutan tersebut tentu membawa konskuensi, istilah tenaga ahli dapat dimaknakan tunggal ataupun jamak, sedangkan istilah KPTA dapat dipastikan jamak.

            Dengan mengamati secara cermat, roh yang diinginkan oleh UU No. 27 Tahun 2009 KPTA akan membantu tugas anggota DPRD sesuai dengan pengelompokan tugas dan wewenang DPRD. Ini berarti bahwa kinerja KPTA membantu fraksi maupun komisi. Dengan demikian jumlah KPTA tergantung pada jumlah fraksi dan komisi di masing-masing daerah.

            Keberadaan KPTA sangat ditentukan 2 hal: kebutuhan atas usul anggota DPRD dan kemampuan daerah. Penulis berpandangan bahwa kedua syarat tersebut bersifat komulatif, artinya kedua syarat tersebut harus terpenuhi. Bilamana anggota DPRD mengusulkan kepada sekretaris dewan bahwa diperlukan KPTA, sedangkan kemampuan daerah tidak ada, maka KPTA menjadi tidak ada. Sebaliknya, kemampuan daerah ada sedangkan anggota DPRD beranggapan bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya tidak memerlukan KPTA, maka KPTA menjadi tidak ada.

            Yang cukup menggelisahkan, regulasi tentang KPTA ada pada grey area. Tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan tentang persyaratan untuk menjadi KPTA DPRD. Seluruh pengaturan pengangkatan dan pemberhentian ada di tangan sekretaris dewan. Dengan demikian, sekretaris dewan memiliki otoritas penuh (full powers) untuk mengangkat dan memberhentikan KPTA DPRD.

            Hal ini berbeda dengan staf ahli bupati maupun gubernur yang memiliki kriterium yang jelas untuk dapat diangkat sebagai staf ahli. Kriterium yang dimaksud adalah bahwa calon staf ahli yang diangkat harus berasal dari PNS dan akan didudukkan sebagai eselon II. Dalam regulasi kepegawaian, seseorang yang akan menduduki eselon II juga memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya harus golongan IV. Hak dan kewajiban untuk eselon II juga jelas, dapat kendaraan dinas dan tunjangan jabatan yang semuanya diatur dengan jelas dalam regulasi kepegawaian.

            Karena tidak diatur dengan regulasi yang jelas, maka hak dan kewajiban KPTA DPRD akan sangat tergantung pada good will sekretaris dewan. Sekretaris dewan dapat menentukan besar kecilnya honorarium dengan menganggarkannya dalam APBD. Akhirnya, optimal atau tidaknya kinerja KPTA DPRD tergantung pada honorarium yang diterimanya.

 

Keahlian yang dibutuhkan

            KPTA DPRD diamanatkan untuk mendukung pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD. Idealnya, setiap anggota DPRD memiliki satu orang KPTA, tetapi hal ini akan membawa konskuensi besarnya anggaran yang harus dibebankan di APBD. Penulis berpandangan bahwa KPTA cukup disesuaikan dengan jumlah fraksi dan komisi yang ada di DPRD. Dengan demikian jumlah KPTA di masing-masing daerah dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

            KPTA yang ditugaskan membantu fraksi, haruslah memiliki pengetahuan yang cukup tentang visi, misi dan program fraksi yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa pengetahuan tersebut, KPTA akan mengalami kesulitan dalam memberikan masukan terhadap kebijakan yang akan diambil oleh fraksi. Orang yang dapat mengemban posisi KPTA fraksi dapat saja berasal dari akademisi, profesional ataupun pihak lain yang menurut fraksi dapat memberikan pertimbangan kebijakan fraksi.

            Berbeda dengan KPTA yang ditempatkan di fraksi, KPTA yang ditempatkan di komisi harus orang yang benar-benar memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang komisi. Komisi A atau Komisi I DPRD, bergerak dalam bidang hukum dan pemerintahan. Idealnya, komisi ini memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu hukum dan ilmu pemerintahan. Kedua KPTA ini akan dapat mengcover pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Komisi A atau Komisi I DPRD.

            Komisi B atau Komisi II DPRD bergerak dalam bidang keuangan dan anggaran. Seperti halnya Komisi A, Komisi B idealnya juga memiliki 2 orang KPTA yang berlatar belakang pendidikan ilmu akuntansi dan ilmu manajemen (keuangan). KPTA Komisi B akan mengcover tugas Komisi B dalam menganalisis RAPBD, Nota Perhitungan APBD, PAPBD dan LKPJ Kepala Daerah, yang selanjutnya memberikan rekomendasi kepada Komisi B sebagai masukan dalam pembahasan materi-materi tersebut.

            Komisi C atau Komisi III lebih banyak bergerak di bidang pembangunan fisik, jalan, jembatan, bangunan dan seterusnya. KPTA yang diharapkan dapat mendorong fungsi, tugas dan wewenang Komisi C adalah mereka yang berlatar pendidikan teknik sipil atau profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik. Lebih ideal lagi, keduanya disatukan sebagai KPTA. KPTA yang berpendidikan teknik sipil sangat paham betul tentang pembangunan fisik berdasarkan teksbook yang ada. Sedangkan profesional yang berkecimpung sebagai kontraktor proyek fisik paham betul tentang rimba proyek fisik.

            Komisi D atau Komisi IV bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang ini sangat jauh perbedaannya, karena itu KPTA harus berasal dari kedua bidang tersebut. KPTA yang membantu bidang pendidikan harus paham betul tentang dunia pendidikan. Sekretaris dewan maupun Komisi D dapat saja mensyaratkan untuk menjadi KPTA bidang pendidikan harus pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota atau Provinsi. Mereka yang pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai Dewan Pendidikan sudah teruji pemahamannya dalam dunia pendidikan.

            Sedangkan untuk KPTA bidang kesehatan, haruslah memiliki latar belakang pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan berlatar belakang pendidikan kesehatan masyarakat, diharapkan akan dapat memberikan masukan kepada Komisi D tentang kebijakan daerah di bidang kesehatan.

 

Penutup

            Eksistensi KPTA dalam mendukung pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD adalah sangat vital. Oleh karena itu, tidak ada lagi argumentasi tidak ada anggaran untuk meniadakan KPTA. Kawan-kawan ekskutif (baca: pemerintah daerah) sangat expert di bidangnya, dan itu harus diimbangi oleh kawan-kawan DPRD. Bila tidak, lagunya Iwan Fals dengan kalimat “nyanyian lagu setuju” akan sering terdengar lagi.

            Kepada kawan-kawan fraksi dan komisi DPRD, selamat memilih KPTA.

 

 

 

 



* Dosen Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo, tinggal di Perumahan Villa Situbondo Indah Blok C-15 Situbondo

 

 

0 komentar

SIDE EFFECTS PENUNDAAN PELANTIKAN BUPATI SITUBONDO

SIDE EFFECTS PENUNDAAN PELANTIKAN BUPATI SITUBONDO

Oleh: Winasis Yulianto*

 

            Seorang kawan dosen bertanya dengan sangat lugu, tapi penulis kesulitan memberikan jawaban. “Apakah ada gunanya kamu nulis di koran, mempertontonkan keilmuanmu. Dapatkah tulisanmu merubah keadaan yang sedang berlangsung?”

            Pertanyaan yang disampaikan setelah acara pelantikan mutasi pejabat struktural di kampus Sabtu lalu (21/8/2010), terus saja bergayut dalam pikiran penulis. “Apa iya, penulis sudah mempertontonkan keilmuan penulis, yang notabene merupakan kesombongan akademis. Apa iya, tulisan penulis akan mampu merubah keadaan”.

            Kontemplasi yang dilakukan penulis membawa pada sebuah konklusi, ini dunia politik. Sebuah dunia grey area, yang satu ditambah satu tidak selalu dua, tetapi terserah partai. Ini bukan dunia teksbook, tetapi dunia tekstual. Ini bukan dunia kampus, tetapi dunia nyata. Literatur dan buku-buk teori belum tentu laku, yang baru berlaku untuk membuat sebuah legitimasi.

            Berangkat dari sebuah keprihatinan, penulis tetap akan mencoba terus menulis. Tanpa lagi berhitung, apakah tulisan yang penulis buat membawa pengaruh apa tidak.

 

PENUNDAAN PELANTIKAN BUPATI

            Secara normatif, kapanpun dilantik, masa jabatan bupati tetap lima tahun. Penghitungan masa jabatan bupati didasarkan pada tanggal penetapan keputusan Menteri Dalam Negeri yang khusus untuk itu. Logika yang tidak tepat kalau menyuarakan masa jabatan bupati akan terkurangi bila mengulur-ulur waktu proses pelantikan.

            Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang bersifat final dan mengikatpun dicoba diterobos dengan mengajukan keberatan karena adanya Keputusan KPUD Situbondo  tentang Penetapan Rekapitulasi hasil penghitungan sekaligus penetapan pasangan terpilih. Namun keputusan KPUD tersebut dibantah oleh komisioner KPUD Situbondo yang lain, karena tidak pernah sekalipun ada rapat pleno yang membahas keputusan tersebut. Konon, keputusan tersebut hanya ditandatangani oleh salah seorang anggota KPUD sendirian, tanpa persetujuan anggota KPUD yang lain. Masih konon, 4 (empat) orang anggota KPUD Situbondo yang lain telah mengirimkan surat bantahan ke MK. Penulis sampai saat ini belum mengetahui sikap MK terhadap bantahan tersebut.

            Atas dasar pengajuan keberatan ke MK, salah seorang pimpinan DPRD tidak bersedia menandatangani berkas pengusulan pelantikan ke Mendagri melalui Gubernur Jawa Timur. Faktor inilah tampaknya yang berakibat penundaan pelantikan bupati.

 

SIDE EFFECTS

            Benar bahwa Gubernur Jawa Timur telah melantikan pelaksana tugas jabatan (ptj) bupati Situbondo. Namun kita makfum, bahwa ptj bupati memiliki keterbatasan dalam menakhodai pemerintah Kabupaten Situbondo. Pertama, bupati tidak diperkenankan untuk melakukan mutasi. Hal ini merupakan amanat Gubernur pada saat melantikan ptj bupati Situbondo. Kedua, ptj bupati tidak dapat mengambil keputusan masalah-masalah yang strategis, diantaranya yang berhubungan dengan APBD.    

            Akibatnya, pembahasan terhadap Perubahan APBD Tahun 2010 tidak dapat dilaksanakan. Akankah Kabupaten Situbondo tidak melakukan PAPBD tahun 2010 ini. Ataukah kita sudah cukup puas dengan APBD kita di tahun 2010.

            Akibat kdua, penyusunan APBD 2011 akan mengalami keterlambatan. Sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011, penyusunan APBD seharusnya dimulai bulan Juni dan harus selesai pada tgl 31 Desember 2010. Bilamana mengalami keterlambatan, haruskah kita menerima pengurangan DAU dan DAK dari pemerintah pusat.

            Akibat-akibat sebagaimana penulis sebutkan di atas, pernahkah terpikirkan oleh pihak-pihak yang menghambat proses pelantikan bupati Situbondo. Namun itu semua, penulis kembalikan ke dalam hati nurani mereka, yang saat ini memiliki kekuasaan untuk melancarkan atau menghambat proses pelantikan bupati.

 

PEKERJAAN RUMAH

            Perda Kabupaten Situbondo Nomor 01 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Situbondo Tahun 2006-2010 yang ditandatangani Bupati Ismunarso pada tanggal 26 Januari 2006 akan habis masa berlakunya. Kita perlu segera menyiapkan draf RPJMD untuk masa lima tahun ke depan. Ini bukan pekerjaan mudah, karena harus melibatkan seluruh stakeholders di Kabupaten Situbondo, dan tidak dapat kita selesaikan dalam hitungan hari.

            Itupun masih dilakukan pembahasan dengan DPRD, karena harus berbentuk Perda. Untuk menghasilkan RPJMD yang applicable, pembahasan dengan DPRD akan memakan waktu yang cukup lama.

            Berikutnya adalah tahapan APBD 2011. Pemerintah Kabupaten Situbondo (Pemkab) perlu segera menyiapkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rancangan Kebijakan Umum APBD. Setelah itu, Pemkab perlu segera mempersiapkan Rancangan KUA dan Rancangan PPAS untuk disampaikan kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. (Vide Pasal Pasal 87 ayat 1 Permendagri No. 59 Tahun 2010)

KUA dan PPAS yang telah disepakati antara Pemkab dengan DPRD masing-masing harus dituangkan ke dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara bupati dengan pimpinan DPRD dalam waktu bersamaan pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.

Bupati menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD beserta lampirannya kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Persetujuan bersama antara bupati dan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD ditandatangani oleh bupati dan pimpinan DPRD paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran berakhir.

 

PENUTUP

            Sejauh pemahaman penulis, pekerjaan rumah yang penulis sampaikan di atas tidak dapat dilakukan oleh seorang ptj bupati. Semuanya harus dilakukan oleh bupati definitif. Dengan alur pikir yang demikian, penulis berkesimpulan bahwa menghambat pelantikan bupati berarti menghambat proses pembangunan di Kabupaten Situbondo yang kita cintai bersama.

 

 



* Winasis Yulianto, SH., M.Hum., Dosen Tetap dan Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh tinggal di Perumahan Villa Situbondo Indah Blok C-15 Situbondo

0 komentar

SADAR BERKONSTITUSI

SADAR BERKONSTITUSI

Oleh: Winasis Yulianto

 

            Sadar berkonstitusi harus dimaknakan tidak hanya hapal perundang-undangan, mulai dari undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) hingga peraturan daerah (perda). Sadar berkonstitusi harus dimaknakan tahu, mau dan mampu melaksanakan konstitusi, karena orang yang tahu belum tentu mau dan mampu melaksanakan konstitusi.

            Sadar berkonstitusi diharapkan membumi di masyarakat kita, mengingat Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Setiap tindakan pribadi maupun pemerintah, harus memiliki landasan hukum sebagai pedoman.

 

Prihatin

            Kamis 11 November 2010 pukul 10, penulis harus menghadiri sebuah rapat organisasi sosial kemasyarakatan. Perjalanan penulis agak terganggu karena ada penyampaian aspirasi (baca: demonstrasi) perangkat desa di Kantor Bupati Situbondo. Materi aspirasi yang disampaikan, yang baru penulis ketahui pada saat sampai di ruang rapat yang penulis hadiri. Seorang kawan, yang kebetulan seorang advokat, bercerita bahwa materi aspirasi yang disampaikan adalah masa jabatan kepala desa yang selama ini 6 tahun, minta dikembalikan menjadi 8 tahun.

            Mendengar penjelasan kawan tadi, penulis jadi trenyuh, prihatin, mengapa aspirasi ini harus disampaikan ke Bupati Situbondo. Apakah karena yang yang mengesahkan dan yang mengangkat kepala desa terpilih adalah Bupati, lantas aspirasi harus disampaikan ke Bupati. Pertanyaan seperti itu penulis ajukan, lantas penulis coba mencari jawaban atas pertanyaan yang penulis ajukan sendiri.

 

Masa Jabatan Kepala Desa

            Sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah, pemerintahan desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang telah beberapa kali dilakukan perubahan. Pasal 204 UU Pemda menetapkan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.

            Pasal 204 UU Pemda ini melahirkan sebuah peraturan organik, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (PP Desa). Pasal 52 PP Desa mengatur hal yang sama dengan Pasal 204 UU Pemda. Kalimatnya persis tanpa ada perubahan sama sekali.

Selanjutnya dari PP Desa, Pemerintah Kabupaten dan DPRD Situbondo mengundangkan perda tentang desa. Perda inpun mengatur persoalan yang sama tentang masa jabatan kepala desa. Hal ini logis, mengingat peraturan yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dalam khasanah ilmu hukum, itu yang dimaksud dengan Lex Superiori Derogat Lex Inferiori.

 

Langkah Solutif

            Otoritas penentuan masa jabatan kepala desa bukan terletak pada Bupati dan DPRD Situbondo yang telah mengundangkan perda tentang desa. Apa yang dilakukan oleh Bupati dan DPRD Situbondo sebatas melaksanakan peraturan perundang-undangan di atasnya.

            Karena itu, sekiranya ada aspirasi untuk ingin memperpanjang masa jabatan kepala desa, adalah dengan mengubah pasal yang berkaitan dengan masa jabatan kepala desa dalam UU Pemda. Aspirasi yang terakumulasi kemudian disampaikan ke anggota legislatif (baca: DPR RI). Biarlah pemerintah pusat dan DPR RI yang akan membahas usulan perubahan masa jabatan kepala desa.

            Penulis tidak tahu apakah moment penyampaian aspirasi perangkat desa tersebut dibarengkan dengan pelaksanaan kegiatan anggota MPR RI di Kabupaten Situbondo. Logika yang penulis tangkap, dengan dibarengkannya penyampaian aspirasi dengan agenda kegiatan anggota MPR RI tersebut, merupakan langkah efisien dan efektif, sehingga tidak perlu menyampaikan aspirasi ke pusat secara langsung. Kalau logika ini benar, berarti satu dayung dua tiga pulau terlampaui.

 

Penutup

            Akhirnya, konstitusi yang ada harus kita patuhi terlebih dahulu. Urusan nanti ada perpanjangan masa jabatan kepala desa karena ada perubahan regulasi, itu urusan lain. Yang terpenting, kita harus sadar berkonstitusi agar negara hukum yang dicita-citakan pendiri bangsa ini segera dapat tercapai.

 
;